05 Desember, 2008





SEJARAH DAN BUDAYA KUTAI
Sejarah Berdirinya
Sebelum menjadi sebuah kesultanan dengan masuknya tradisi Islam dalam sistem pemerintahan, Kutai Kertanegara adalah sebuah kerajaan yang didirikan oleh seorang raja yang bernama Adji Batara Agung Dewa Sakti (1300—1325) pada awal abad ke-14 M. Pada awal berdirinya kerajaan ini berpusat di Muara Mahakam yang dikenal dengan Negeri Jaitan Layar. Jauh sebelum berdirinya kerajaan ini, telah berdiri sebuah kerajaan yang berpusat di pedalaman sungai Mahakam, tepatnya di Muara Kaman, yang dikenal dengan Kerajaan Kutai Martadipura atau Martapura.
Kendatipun demikian, rekontruksi sejarah Kerajaan Kutai Martapura yang dikenal dengan Kerajaan Mulawarman masih diliputi oleh tabir kegelapan. Sebab, sampai sekarang, analisis artefaktual masih sangat kurang dan belum dapat mengungkap "periode gelap" sejarah panjang kerajaan Hindu yang pernah dipimpin oleh Raja Mulawarmman pada abad V, hingga berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad XVII.
Sedangkan pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara, yaitu Adji Batara Agung Dewa Sakti, menurut Silsilah Kutai adalah seseorang yang turun dari langit dan kemudian kawin dengan Putri Karang Melanu yang lahir dari buih sungai Mahakam. Beberapa sejarawan mengungkapkan kemungkinan cerita ini bermaksud memberikan lambang bahwa cikal bakal Kerajaan Kutai Kertanegara adalah percampuran antara penduduk asli yang dilambangkan dengan buih Sungai Mahakam dengan pendatang dari luar yang dilambangkan sebagai orang yang turun dari langit.
Mengenai cikal bakal pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara ini, ada salah satu sumber sejarah yang mengatakan bahwa nama Kertanegara itu sendiri ada hubungannya dengan raja terakhir kerajaan Sinhasari di Jawa. Raja yang dimaksud bemama Kertanagara (1268-1292). Sumber sejarah tersebut menyebut-kan bahwa pada masa kejayaan Sinhasari, Kertanagara pernah singgah di Muara Mahakam karena akan melanjutkan ekspansi ke luar Jawa. Ekspansi yang dilakukan besama para bangsawan Sinhasari merupakan politik luar negeri untuk menghadapi ekspansi Mongol yang sedang giat dilancarkan oleh Kubi Lai Khan. Di dalam perjalanannya ke Muara Mahakam, ada salah seorang bangsawan Sinhasari menikah dengan putri pembesar di Tepian Batu, yang kemudian dapat mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Kutai Kertanegara.
Ada juga dugaan bahwa pada masa keruntuhan Sinhasari banyak bangsawan yang lari meninggalkan Jawa dan pada akhirnya pergi ke Pantai Timur Kalimantan yang kemudian membuat koloni di Kalimantan Timur yang disebut "Kertanegara". Hal ini dapat saja terjadi karena pada saat itu timbul pusat-pusat perdagangan di pantai timur Kalimantan yang banyak dilalui oleh pedagang-pedagang dari Jawa, Filipina, dan Cina. Sedangkan, pusat Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri di Kutai Lama dekat dengan Selat Makasar.
Pada abad ke-15 Kertanegara berusaha melakukan penekanan terhadap Muara Kaman, kendati belum berhasil menaklukkan kerajaan Mulawarman. Dari penyerangan itu, Raja Kertanegara berhasil melarikan putri raja yang kemudian dipersunting menjadi permaisuri dan diberi gelar Mahasuri Bengalon. Dengan demikian, sejak saat itu, telah terjadi percampuran darah kedua kerajaan di Tepian Sungai Mahakam ini.
Tentang asal-usul nama Kutai serta apakah sudah digunakan sebagai nama Kerajaan Mulawarman, masih belum pasti kebenarannya. Yang jelas, nama Kutai itu pertama kali secara resmi disebut dalam buku Nagarakertagama yang ditulis pada masa pemerintahan Majapahit dengan istilah Tanjung (Tunyung) Kutai (Kute) yang oleh Mees diidentikkan dengan Kutai. Nama Kutai ini kemudian diperjelas oleh informasi yang ada dalam Silsilah Raja-Raja Kutai.
Ada pula dugaan bahwa nama Kutai berasal dari bahasa Cina. Pada tiap suku kata namanya memiliki makna: ‘kho’ yang artinya ‘kerajaan‘ dan ‘thai‘ yang artinya ‘besar.‘ Jadi kho-thai artinya adalah ‘kerajaan besar‘ dan lama kelamaan menjadi Kutai. Dugaan ini ada benarnya mengingat pengaruh kebudayaan Cina sangat besar di wilayah nusantara ini. Diinformasikan pula dalam silsilah Kerajaan Kutai bahwa pembesar Cina ada yang tinggal menetap dan menjadi warga di wilayah Kertanegara.
Perkembangan Kesultanan
Berdasar pada letak geografis pusat Kerajaan Kutai Kertanegara sangat strategis. Posisinya yang berada di muara sungai Mahakam. Hal ini secara politik dapat dengan mudah memperlemah Kerajaan Kutai Martapura yang berada di pedalaman Mahakam dengan mengepung dan memutuskan hubungannya dari dunia luar. Kendatipun demikian, Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman masih sanggup bertahan sampai abad XVII. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Hindu di kerajaan Kutai Martapura adalah masyarakat yang kuat.
Sejak awal pertumbuhannya, Kerajaan Kutai Kertanegara telah melakukan kerjasama dengan Kerajaan Majapahit yang pada saat itu mulai menguasai hampir seluruh nusantara. Sebagaimana diberitakan dalam Kronik Kutai, bahwa Aji Maharaja Sultan (1360—1420) dengan saudaranya yang lain melakukan kunjungan ke Majapahit untuk mengadopsi hukum dan tata negara yang sudah berlaku di sana. Bahkan, dalam kronik ini juga disebutkan bahwa salah satu pintu Keraton Majapahit dibawa untuk diletakkan di depan Keraton Kutai. Pada masa kejayaannya, Majapahit juga mengutus perwakilannya untuk duduk dalam pemerintahan Kutai Kertanegara.
Pengaruh Majapahit terhadap Kerajaan Kutai Kertanegara ini berlangsung hingga abad ke-15, seiring semakin memudarnya pengaruh Kejayaan Majapahit yang pada akhirnya hancur di tangan kesultanan Islam yang berpusat di Demak, Jawa Tengah. Masuknya pengaruh Islam di wilayah Kutai ini juga diperkirakan telah mulai dirasakan sejak abad ke-15. Penggunaan nama ‘sultan’ bagi raja ke-3, Maharaja Sultan (1360—1420) dan ‘syah’ bagi raja ke-4, Mandarsyah (1500—1530) merupakan salah satu indikasi yang mengarah ke sana.
Memang belum ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan adanya pengaruh Islam di Kerajaan Kutai pada abad tersebut, tetapi sejak saat itu Islam sudah mulai menyebar ke sebagian besar wilayah nusantara. Bisa jadi, pada abad tersebut Islam juga telah mulai menyebar ke sebagian masyarakat di wilayah Kutai, yang kemudian secara berangsur-¬angsur diterima dengan baik oleh keluarga kerajaan. Sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Asia Tenggara, Azumardi Azra, telaah-telaah Islam di Kalimantan selama ini masih berkutat pada masalah kapan, bagaimana, dan dari mana Islam memasuki wilayah ini. Hampir tidak ada telaah mengenai pertumbuhan lembaga-lembaga Islam dan tradisi keilmuan di kalangan umat Islam di wilayah ini.
Di dalam Kronik Kutai, diberitakan bahwa Islam masuk ke Kerajaan Kutai dibawa oleh dua orang ulama yang datang dari Makasar. Mereka adalah Tuan di Bandang dan Tuan di Parangan, sehingga mulai abad ke-16 Islam diterima dengan baik oleh kerajaan. Dan kemudian, rajanya yang ke-6 bergelar Mahkota Mulia Islam (1525—1600). Bahkan, sang Sultan sempat menyertai Tuan di Parangan berkeliling untuk berdakwah ke hampir seluruh wilayah kekuasaannya, sehingga dalam waktu singkat diperkirakan Islam dipeluk oleh rakyat Kutai. Sejak masa pemerintahan Mahkota Mulia Islam, agama Islam telah dinyatakan sebagai agama resmi pemerintahan dan bentuk kerajaan diubah menjadi kesultanan.
Sementara itu, permusuhan antara Muara Kaman yang masih menganut Hindu dan Kutai Lama yang sudah menganut Islam berlangsung terus hingga mencapai puncaknya pada awal abad ke-17. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1605-1635) mengirim pasukan untuk menyerang ibu kota Kerajaan Kutai Martapura yaitu Muara Kaman dan berhasil menaklukkannya. Sejak kekalahan tersebut, berakhirlah kerajaan Hindu pertama di nusantara, Kerajaan Kutai Martapura, bersamaan dengan gugurya raja terakhir, Dharma Setya.
Ditaklukkannya Muara Kaman sebagai basis kekuatan Kerajaan Mulawarman semakin mengokohkan posisi Kesultanan Kutai Kertanegara sebagai satu-satunya kerajaaan yang berkuasa di wilayah perairan Mahakam. Sejak saat itu, Aji Pangeran Sinum Panji Mandapa (1605—1635) telah berhasil menggabungkan dua kekuatan besar Kerajaan Martapura dan Kertanegara. Seiring dengan kejadian itu, kesultanannya berubah menjadi Kutai Kertanegara ing Martadipura. Ibu kota kerajaan sejak saat itu dipindah dari Jaitan Layar ke Kutai Lama. Inilah tonggak bagi pertumbuhan Kesultanan Kutai di masa-masa berikutnya.
Sejak awal abad ke-17, kerajaan tersebut telah mulai diletakkan dasar-dasar pemerintahan menuju ke arah sistem pemerintahan modern. Pada masa pemerintahan Aji Sinum Panji Mandapa mulai ditetapkan undang-undang yang mengatur jalannya pemerintahan, sehingga kekuasaan raja sudah mulai dibatasi dengan undang-undang. Dua undang-¬undang yang telah ditetapkan pada masa itu, yaitu Undang-undang Dasar Panji Salarin yang terdiri atas 39 pasal dan Undang-undang Beraja Nanti yang terdiri atas 164 pasal. Pada dua undang-undang tersebut semakin tampak pengaruh Islam dimana syariat Islam telah mewarnai sebagian besar isi kedua undang-undang ini.
Pada tahun 1732 ibu kota kesultanan dipindahkan oleh Sultan Aji Muhammad Idris (1732—1739) dari Kutai Lama ke Pemarangan. Kemudian pada tahun 1739 Sultan Aji Muhammad Idris, menantu dari Sultan Wajo, berangkat ke tanah Wajo Sulawesi Selatan untuk turut bertempur bersama rakyat Makassar melawan VOC. Di tahun itu pula, Sultan meninggal di medan perang.
Sepeninggal Sultan Idris terjadilah perebutan kekuasaan oleh Aji Kado. Sedangkan, putra mahkota, Aji Imbut, yang ketika itu masih kecil, dilarikan ke tanah Wajo. Setelah dewasa, Aji Imbut kembali ke Kutai dan dinobatkan oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia kepadanya sebagai Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Muslihuddin. Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Akhirnya, Aji Kado berhasil dikalahkan dan dihukum mati pada tahun 1780. Untuk menghapuskan kenangan pahit di Pemarangan, Aji Imbut memindahkan ibu kota kesultanan ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782 yang kemudian dikenal dengan Tangga Arung (Rumah Raja) dan lama kelamaan menjadi Tenggarong.
Sementara itu, sejak kedatangan Belanda di bawah pimpinan de Houtman dan de Keyzer di Banten pada abad ke-16, secara berangsur-angsur wilayah nusantara jatuh ke tangan penguasa Belanda. Dengan politik Devide et lmpera-nya, pada abad ke-19 Belanda telah berhasil menundukkan hampir seluruh kerajaan di wilayah nusantara, tidak terkecuali wilayah Kalimantan Timur dimana Kerajaan Kutai Kertanegara ada di dalamnya.
Kontak pertama antara Kerajaan Kutai dengan Hindia-Belanda telah terjadi sejak tahun 1635 sebagai akibat dilakukannya perjanjian antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan Kesultanan Banjarmasin. Di antara isi perjanjian itu, menyangkut pembelian lada, bea cukai, dan bantuan VOC terhadap Banjarmasin untuk menundukkan kembali Kutai dan Pasir serta melindungi Banjarmasin dari serangan Mataram. Sejak perjanjian itu, Kutai harus menyetorkan pajak ke Banjarmasin karena kembali diklaim sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Sejak keruntuhan Majapahit kerajaan Banjarmasin memang mcnempatkan kcrajaan Kutai sebagai bagian dari wilayahnya Hanya saja pengaruh Banjarmasin ini tidak begitu kuat seperti Majapahit, sehingga Kutai relatif independen dan tidak ada seorang perwakilan Banjarmasin pun yang ditempatkan di sana.
Pada tanggal 8 Agustus 1825 di istana Tenggarong diadakan perjanjian antara George Muller sebagai perwakilan dari Hindia-Belanda dan Sultan ke-16 yaitu Sultan Muhammad Salehuddin (1780—1859). Perjanjian itu terdiri dari 10 pasal, sedangkan pokok-pokok isinya, yaitu Sultan Kutai berada di bawah perlindungan pemerintah Hindia-Belanda dan semua hak sultan dalam memungut pajak dikuasai Belanda. Perjanjian pada tahun 1825 ini merupakan pejanjian pertama yang menempatkan Kesultanan Kutai langsung di bawah pemerintahan Hindia-Belanda.
Sebelum tahun 1844, pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya masih harus berhadapan dengan Pemerintah Kolonial lnggris yang juga menghendaki serta mengklaim Kalimantan Timur sebagai bagian dari wilayahnya. Hal ini berdasar pada apa yang disebutkan dalam Perjanjian London pada tahun 1824. Barulah pada bulan Maret tahun 1844 Hindia-Belanda mengirimkan pasukan sehubungan adanya insiden dirusaknya kapal dagang lnggris dan terbunuhnya Kapten Murray oleh orang-orang Kutai. Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, Kutai menderita kekalahan dan panglima perang Kesultanan Kutai, Pangeran Awang Long, meninggal dalam pertempuran tersebut. Akhirnya, Kutai tunduk kepada Hindia-Belanda dengan menandatangani perjanjian pada tanggal 11 Oktober 1844. Sejak saat itu, Kerajaan Kutai secara de facto maupun de jure berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda.
Pada tahun 1845 Sultan Salehuddin meninggal dan digantikan oleh anaknya yang masih belum dewasa benama Aji Sulaeman. Sehingga, pemerintahan kerajaan diserahkan kepada tiga orang wali, yaitu Pangeran Mangkubumi, Perdana Menteri, dan Kyai Senopati. Pada Agustus 1846 pemerintah Hindia-Belanda baru mengesahkan pemerintahan Kerajaan Kutai. Dan, pada tahun 1850 diadakan perjanjian kembali antara para wali dan Sultan dengan Hindia-Belanda di Kutai. Sebenarnya, isi perjanjian itu hanya memperbaharui apa yang ada dalam perjanjian pada tahun 1844 dengan Sultan Salehuddin.
Pada tahun 1863 juga diadakan perjanjian antara Kutai dengan Hindia-Belanda yang isinya semakin mempekokoh kekuasaan Belanda atas wilayah Kutai. Dari perjanjian pada tahun 1863 ini, tampak sekali bahwa Kutai secara politik maupun ekonomi telah berada di bawah kekuasaan Hindia-Belanda.
Sejak terjadi interaksi antara Kutai dengan Hindia-Belanda telah terjadi perubahan yang berarti dalam politik dan ekonomi Kutai. Perubahan ini terjadi dengan masuknya 364 lembaga politik dan ekonomi dari luar ke dalam Kerajaan Kutai. Hal ini berakibat berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan yang ada. Selain itu, penemuan tambang batu-bara sebagai akibat dari persentuhan Kutai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan Barat juga sedikit banyak merubah perekonomian kesultanan. Begitu pula dengan berkembangnya perdagangan di Pelabuhan Samarinda sebagai indikator perubahan di kesultanan ini.
Pada tahun 1920 Aji Kaget telah dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Muhammad Aji Parikesit. Oleh karena perekonomian kerajaan yang semakin kuat, Kesultanan Kutai telah memiliki dana sebesar FI. 3.280.000,- dimana jumlah ini sangat fantastis ketika itu. Pada tahun 1936 Aji Kaget mendirikan istana baru yang sangat megah dan kokoh. Proses pembangunan istana itu membutuhkan waktu selama satu tahun.
Pada tahun 1942, Jepang telah berhasil menundukkan Asia termasuk Kutai. Oleh karena itu, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Dua tahun setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Kutai Kertanegara dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat.
Respon pemerintah swaparaja terhadap kemerdekaan Republik Indonesia dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dinilai oleh rakyat Kutai kurang positif. Hal itu terbukti misalnya dengan adanya usaha-usaha kooperatif dari kesultanan dengan kolonial Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali Indonesia. Salah satu wujud konkrit dari usaha tersebut adalah adanya keterlibatan secara aktif dari kalangan bangsawan kesultanan untuk mendukung dibentuknya negara Kalimantan yang dipelopori oleh Kolonial Belanda.
Tujuan di balik pembentukan negara Kalimantan ini sebanarnya hanyalah untuk melaksanakan keinginan kolonial Belanda dalam usaha untuk memecah belah bangsa Indonesia, dan ‘menyayangi’ Republik Indonesia. Sementara itu, pihak kesultanan juga merasa lebih diuntungkan dengan upaya kolonial Belanda dalam rangka melanggengkan kekuasaanya di wilayah ini. Hal inilah yang membuat simpati rakyat Kutai kepada kesultanan semakin memudar. Selain itu, terjadi kesenjangan yang semakin mencolok antara pihak kesultanan dengan rakyatnya yang banyak menderita akibat penjajahan kolonial Belanda.
Sejalan dengan itu, terjadilah gelombang tuntutan demokratisasi pemerintah swaparaja dikalangan rakyat, bahkan kemudian berlanjut pada tuntutan aksi anti swapraja ini. Dengan demikian, sudah mulai muncul aksi terang-terangan menuntut dihapuskannya pemerintahan swapraja, terutama ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Kalimantan pada tahun 1950.
Pada tanggal 27 September 1950 terjadi perundingan di Keraton Tenggarong antara pihak pemerintah swapraja dengan rakyat Kalimantan Timur yang diwakili oleh para pimpinan partai ketika itu. Perundingan tersebut berjalan mulus karena pihak pemerintah swapraja yang diwakili oleh Aji Pangeran Pranoto tidak keberatan dengan tuntutan rakyat tersebut. Persetujuan itu kemudian ditindaklanjuti oleh mak1umat Sultan Aji Muhamad Parikesit. Maklumat tertanggal 27 September 1950 ini menyatakan bahwa kesediannya untuk menghapuskan Swapraja Kutai. Akan tetapi, pengesahan dan pelaksanaan atas keputusan ini akan diatur oleh Pemerintah Pusat.
Sejak saat itu, sebenarnya Kesultanan Kutai sudah kehilangan pengaruhnya di tengah-tengah rakyat Kutai. Pada tanggal 21 Januari 1960 berlangsunglah upacara serah terima pemerintahan Daerah Istimewa Kutai dari Kepala Daerah Sultan Adji Muhammad Parikesit kepada Adji Raden Padmo sebagai Kepala Daerah tingkat II Kutai yang baru bertempat di bekas istana Sultan Kutai, Tenggarong, dan disaksikan oleh Gubernur Kalimantan Timur. Oleh karena dihapuskannya Daerah Istimewa Kutai menjadi Daerah Tingkat II Kutai, maka kepala daerah harus diangkat melalui pencalonan oleh DPRD di daerah yang bersangkutan dan tidak lagi diangkat langsung dari keturunan kesultanan. Dengan demikian, sejak tahun 1960 kekuasaan Kesultanan Kutai Kertanegara baik secara de jure maupun de facto telah dibubarkan.
Sistem Pemerintahan
Sebagaimana diberitakan dalam Kronik Kutai bahwa Aji Maharaji Sultan—raja ke tiga—berkunjung ke Jawa untuk mempelajari hukum dan ketetanegaraan di Majapahit. Majapahit pada saat itu adalah sebuah kerajaan besar yang memiliki pengaruh hampir di seluruh nusantara. Dari situ, dapat dipastikan bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan di Kutai Kertanegara kemungkinan banyak mengadopsi dari Kerajaan Majapahit. Hal itu tampak misalnya dari penggunaan gelar para bangsawan Kutai yang sama dengan gelar yang digunakan bangsawan Majapahit, seperti patih mangkubumi, tumenggun, dan adipati.
Pada masa awal pertumbuhannya, sang raja berkuasa secara penuh dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan dari keluarga yang juga menduduki jabatan sebagai bangsawan. Sebagai sebuah kerajaan, istana Raja Kutai merupakan pusat pemerintahan yang dijalankan secara penuh oleh raja. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh mangkubumi dan para menteri yang membawahi langsung senopati serta para punggawa yang berkedudukan di daerah-daerah.
Setelah pengaruh Islam masuk dalam kerajaan Kutai, maka terjadi perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan. Pada masa pemerintahan Mahkota Mulia Islam (1525—1600) sistem kerajaan berubah menjadi kesultanan dan Islam ditetapkan sebagai agama resmi. Pengaruh Islam dalam sistem pemerintahan Kutai Kertanegara semakin tampak pada masa pemerintahan Aji Sinum Panji Mandapa dengan ditetapkanya dua undang-undang dasar yang mengatur jalannya pemerintahan, yaitu Undang-Undang Panji Salaten dan Beraja Nanti. Kedua undang-undang ini tampak diwarnai oleh syariat Islam. Sejak saat itu, raja tidak lagi berkuasa penuh, melainkan dibatasi dengan undang-undang. Sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Kesultanan Kutai Kertanegara sebenarnya sudah tampak dari kedua undang-undang dasar tersebut. Keduanya digunakan sebagai dasar hukum Kerajaan Kutai Kertanegara. Hukum kerajaan ini berkiblat pada dua sumber, yakni hukum Islam dan hukum adat yang dituangkan dalam kedua undang-¬undang tersebut. Bukti nyata dari perwujudan kedua hukum itu tertera dalam Undang-Undang Dasar Panji Selatan Pasal 1 yang berbunyi, "Yang bernama Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura ialah yang beraja, bermenteri, berorang besar, berhulubalang, berhukum dengan adatnya, bersyara‘ Islam dengan alim ulamanya.” Sistem pemerintahan Kesultanan Kutai yang demikian ini sebenarnya telah terbentuk sejak awal masa pertumbuhan. Sistem ini disinyalir mengadopsi sistem pemerintahan Majapahit. Undang-Undang Panji Salaten ini mulai dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga masih dapat dipelajari sampai sekarang.
Kendatipun sudah mulai dibatasi dengan undang-undang, raja masih tetap merupakan sumber dari segala-galanya bagi kerajaan sebab rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi. Segala sesuatu yang telah diputuskan raja tidak dapat diganggu gugat karena lidah raja adalah adat. Hanya saja, keputusan raja dapat diubah kalau Majelis Orang-Orang Besar dan Orang-Orang Arif yang di wakili oleh alim ulama mufakat dengan raja bahwa putusan raja perlu diubah. Majelis tersebut memutuskan berdasarkan undang-undang tentang wewenang raja.
Di dalam melaksanakan tugasnya, raja memberikan instruksi kepada Mangkubumi. Selanjutnya, Mangkubumilah yang meneruskan kepada bawahan-nya, para menteri dan senopati. Dengan demikian, tugas Mangkubumi serupa dengan peran perdana menteri dalam sistem pemerintahan modern. Selain menerima instruksi raja, Mangkubumi, para menteri, dan senopati juga memberikan saran-saran dan pertimbangan kepada raja. Sebagaimana tampak pada pasal-pasal Undang-Undang Panji Salaten, raja harus tunduk pada peraturan-peraturan tertentu yang mengatur kehidupannya, antara lain; raja jangan meringankan dirinya, jangan duduk di sembarang tempat, jangan jalan di sembarang jalan, dan jangan makan sembarang makan. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa raja berkewajiban menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat yang berada di wilayah kekuasaannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan juga dibantu oleh Majelis yang atas mufakat raja bertugas menetapkan peraturan dan hukum yang berlaku di seluruh kerajaan. Majelis ini beranggotakan kaum bangsawan dan rakyat biasa yang mengerti betul tentang adat istiadat Kutai dan juga ajaran Islam. Peraturan yang dibuat oleh Majelis ini kemudian disebut adat yang diadatkan. Berbeda dengan kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem kekinian, Majelis Orang-Orang Bijak ini memiliki kekuasaan yang sangat terbatas lantaran segala keputusanya baru dikatakan sah dan berlaku untuk seluruh rakyat kalau sudah mendapat persetujuan sultan.
Ketika Kutai berada di bawah pengaruh kolonial Belanda, hukum dan undang-undang adat setempat yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Belanda diabaikan bahkan dihapuskan. Demikian pula halnya dengan sistem pemerintah kerajaan yang lain di kawasan nusantara ketika itu. Strategi ini diterapkan untuk mendukung hegemoni politik pemerintah kolonial. Di samping cara tersebut, Belanda juga mengakomodir hukum dan aturan adat yang sesuai dengan politik kolonialismenya agar seolah-olah Belanda tidak melakukan penjajahan atas mereka. Kebijakan ini diambil berdasarkan kenyataan bahwa rakyat sangat simpati kepada sultan atau raja yang sedang berkuasa.
Sistem pemerintahan raja-raja yang berada di bawah pengaruh langsung Pemerintah Kolonial Belanda ini kemudian dikenal dengan istilah Swapraja. Dengan sistem pemerintahan seperti ini, raja-raja dapat dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai rakyat Indonesia tanpa harus bersusah payah menyediakan struktur pemerintahan yang baru. Dengan dipertahankan sistem kerajaan, maka hampir tidak banyak terjadi perubahan dalam sistem ketatanegaraan Kutai sampai di era kemerdekaan.
Peninggalan Budaya
Salah satu peninggalan kebudayaan Kesultanan Kutai yang hingga kini masih selalu diperingati hampir setiap tahun adalah perayaan Erau. Erau berasal dari kata ‘E‘ yaitu entoq yang artinya ‘bersentuhan‘ dan rau yang artinya ‘ramai-ramai‘. Dengan kata lain, upacara ini merupakan pesta rakyat untuk memperingati hari kelahiran atau penobatan menjadi raja. Perayaan ini biasanya dilakukan di istana Kutai sekurang-kurangnya selama 7 hari 7 malam. Pada perayaan Erau ini hampir semua pertujukan budaya dan adat rakyat Kutai diselenggarakan, sehingga membutuhkan waktu sampai satu bulan lamanya. Pada waktu perayaan ini semua pejabat dan bangsawan kerajaan, dari Punggawa sampai Kepala Adat dari seluruh wilayah Kutai berkumpul di ibu kota dengan masing-¬masing rakyatnya yang telah siap dengan bermacam-macam tarian dan kesenian untuk dipertunjukkan. Upacara Erau juga dilakukan untuk pemberian gelar kepada para bangsawan dan memberikan jamuan kepada rakyat.
Di dalam perayaan Erau, ada upacara adat yang harus dilakukan mulai malam pertama sampai dengan malam ke tujuh. Upacara ini dalam bahasa Kutai disebut “berpelas” dan dilakukan dari pukul 22.00 sampai dengan pukul 23.00. Raja dengan pakaiannya adat naik ke atas kasur yang dialasi dengan kain beludru dan kain satin kuning. Di atas kain itu, dihampari dengan sehelai tikar pandan yang dihiasi dengan benang emas. Di atas tikar itu, ada pula kain sutera yang dilipat secara berliku-liku yang disebut dengan Tapak Liman. Dari ujung kasur, Raja berjalan selangkah demi selangkah sambil mengikuti irama gamelan menuju ke ujung kasur.
Di tangan kanan dan kiri, Raja memegang sehelai tali yang dibuat dari emas yang disebut Tali Juwita. Di ujung tali, masing-masing terikat dengan semacam cincin yang disebut Cincin Pihatu, yang masing-masing dipegang oleh seorang wanita yang menjadi kepala dari Pangkon kanan dan kiri raja. Wanita tersebut bergelar Dayang Tumenggung dan Dayang Mas Noto. Pada ujung lain dari kedua tali itu terikat dengan dua batang sumpitan yang masing-masing disebut Songkoh Piatu dan Songkoh Buntut Yupa. Pada ujung kedua tali tersebut juga terikat sebuah raga emas, keris Burit Kang, dan sebuah benda yang disebut Uncal yang semuanya terbuat dari emas.
Kedua Songkoh di atas didirikan dekat dengan dua buah gong yang diberi nama Gong Raden Galuh dan Gong Margapati. Sesampainya raja berjalan ke ujung kasur, raja harus menginjakkan kedua kakinya ke atas kedua gong tersebut dan kemudian berbalik ke ujung kasur semula. Demikian dilakukan pada malam pertama sebanyak satu kali, pada malam kedua sebanyak dua kali terus sampai malam ketujuh sebanyak tujuh kali. Pada waktu raja berpelas, semua pangkon (dayang) berdiri dan ketika raja duduk mereka ikut duduk.
Pada hari ketujuh, kira-kira pukul tujuh pagi dilakukan sebuah upacara yang disebut menyamper. Raja naik ke sebuah balai yang dibuat dari 32 tiang bambu dan tujuh lantai. Di atas balai itu, Sang Raja duduk beserta Permaisurinya. Pada upacara ini dibacakan doa dengan iringan musik seruling hingga pukul delapan pagi.
Sedangkan pada sore harinya, Raja turun ke tepian sungai Mahakam dan diiringi oleh keluarga beserta rakyat terutama dari tiga kampong; Panji Jawa, Melayu, dan Baru. Kira-kira jam lima sore, Sang Raja dan Permaisuri mandi dengan disirami air yang sebelumnya telah dibacakan doa dan mantra oleh para Pujangga dan Dewa. Setelah itu, Raja dan Permaisuri turun ke sungai dan diikuti oleh rakyatnya seraya saling menyiram satu dengan yang lain.
Sebagai acara penutup, Raja beserta sejumlah kerabat dan rakyatnya pergi ke Kutai Lama dengan membawa dua ekor naga yang dibuat dari bambu dan rotan dan ¬dibungkus dengan kain berwarna sisik naga. Kepala dan ekor naga terbuat dari kayu yang kemudian dihanyutkan ke Laut Tepian Batu. Setelah upacara se1esai, kepala dan ekor naga diambil kembali untuk perayaan tahun berikutnya sementara kain pembungkus naga diambil oleh rakyat setempat.
Rupa-rupanya, tari topeng dapat ditemukan di beberapa tcmpat di tanah air, tidak terkecuali di Kesultanan Kutai. Namun, dalam kenyataannya kesenian ini ada yang terus berlanjut dan ada pula yang mati. Di Kutai, kesenian ini sekarang sudah punah lantaran kalah dengan upacara adat Erau.
Sejak berakhirnya pengaruh Kesultanan pada tahun 1960, upacara adat ini tetap dipelihara dan diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai sebagai wujud kepedulian terhadap warisan ¬budaya kesultanan. Upacara ini biasanya diselenggarakan bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Tenggarong pada tanggal 28 September.

URGENSI PANGAN DALAM NEGARA
Oleh : Agus

Seiring dengan meningkatnya penduduk dan produksi pangan yang semakin berkurang, membuat beberapa harga kebutuhan pangan melonjak. Tidak hanya dalam pasaran lokal yang menjerit dengan kenaikan ini, bahkan dunia merasakan dampaknya. Karena kebutuhan dunia yang besar sementara kesediaan pangan mengalami penurunan. Demikian halnya yang dirasakan oleh masyarakat indonesia.
Kebutuhan pangan Indonesia yang sangat tinggi, menjadikan Indonesia menjadi negara pengekspor beras, gandum, gula dan buah – buahan. Menjadikan Indonesia dalam posisi yang rawan, sebab kebutuhan pangan telah terkendali oleh negara dan pihak luar. Jika masalah pangan sudah dikendalikan oleh pihak luar maka ketergantungan akan menjadi masalah besar. Sebab makanan adalah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Kebutuhan beras yang di – impor dari Thailand begitu pula buah – buahan yang membanjiri pasaran Indonesia. Menimbulkan sebuah dilema yang sangat kronik, negara luas yang memiliki tanah garapan pertanian yang luas serta tanah yang subur. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam hal pangan, dan menjadi sebuah bantahan terhadap titel Indonesia sebagai bangsa Agraris.
Hal ini akan menjadi pertanyaan besar, apakah masyarakat Indonesia yang malas untuk mengelola lahan pertanian? Atau sistem bertani yang kurang baik? Atau dukungan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani? Atau arah pembangunan bangsa ini tidak pernah diterapkan kepada pembangunan Agraris tetapi hanya mementingkan pembangunan kelas atas/konglomerasi?
Dari pertanyaan diatas, dapat dilihat kondisi negeri ini dalam memperlakukan pertanian dan pangan. Fakta yang menunjukkan bahwa kepedulian negara dalam memproduksi dan memperkuat ekonomi agraris sangat minim, dan memberikan peringkat kecil dalam urutan prioritas pembangunan. Mengapa demikian?
Hal ini dapat dilihat dari harga – harga komoditas pertanian dalam negeri tidak pernah diproteksi, sehingga produk pertanian lebih banyak di perjual belikan dalam kalangan lokal, golongan bawah dan dengan harga rendah. Demikian pula dengan produk pertanian luar yang semakin membuat petani terjepit gempuran produk pertanian asing. Misalnya buah – buahan asal Thailand ( Bangkok ), begitu juga beras.
Begitu pula keberpihakan petani akan kebutuhan pertanian, kelangkaan pupuk dan tingginya harga obat – obatan dan benih. Merupakan bukti ketidak pedulian pemerintah kepada para pahlawan pangan yang nota bene merupakan penentu kelangusngan hidup dan bukti kemakmuran suatu bangsa. Jika kebutuhan pangan telah mampu di penuhi, maka negeri ini boleh menjadi negara Agraris yang sebenarnya bukan negara Agraris dalam hal sebutan karena lahan pertaniannya luas. Tetapi menjadi negara Agraris karena mampu menunjukkan hasil pertanian dan kebutuhan negara terhadap pertanian bukan merupakan sebuah kendala. Alias mampu berswasembada pangan.

FENOMENA ALAM VS ULAH MANUSIA

OLEH : AGUS

Sangat miris jika mengikuti perkembangan informasi media massa dan cetak beberapa waktu ini, betapa tidak? Korban jiwa meninggal maupun terluka serta kehilangan tempat tinggal menimpa banyak orang di beberapa daerah. Hal ini terjadi karena bencana alam mulai dari banjir hingga tanah longsor.

Rupanya alam mulai tidak ramah dengan manusia, atau mungkin selama ini manusia mulai tidak memperlakukan alam sebagaimana mestinya. Boleh saja sebahagian berpendapat bahwa ini adalah fenomena alam. Namun hal ini terjadi jika melihat secara nyata disekitar kita begitu banyak kesalahan yang telah diperbuat manusia terhadap alam. Keseimbangan alam terancam oleh kebutuhan ekonomi yang berlebihan dan dikelola secara sekehendak hati.

Penebangan hutan secara besar – besaran dan eksploitasi sumber daya alam mineral, mislanya minyak bumi dan batu bara. Sebuah kesimpulan yang sukar untuk dibantah jika melihat kondisi geografi di negeri ini yang telah berubah dari kondisi hijau dan segar menjadi kawasan yang gersang dan berdebu. Tentu dengan pemanfaatan sumber daya alam secara besar – besaran menjadikan dilema dalam memperlakukan alam. Sebab untuk merehabilitasi dan mengembalikan alam seperti semula memerlukan biaya yang lebih tinggi. Oleh karena itu banyak perusahaan pertambangan dan kehutanan tidak mentaati peraturan yang mengharuskan rehabilitasi kembali eks tambang.

Dengan keadaan kerusakan hutan serta penambangan, maka kondisi alam tidak mampu untuk membendung debit air. Serta tidak ada lagi penopang bagi tanah dataran tinggi. Karena pepohonan yang ada telah hilang, sehingga bencana banjir dan longsor tidak dapat terelakkan lagi. Dengan demikian kenyamanan hidup terganggu oleh alam, yang disebabkan oleh manusia sendiri.

Ketika melihat kondisi telah terjadi saat ini, maka pemanfaatan alam harus lebih bijaksana meski harga ekonomi pertambangan saat ini berada dalam level yang tinggi. Namun dampak terhadap kehidupan juga cukup tinggi.