05 Desember, 2008





SEJARAH DAN BUDAYA KUTAI
Sejarah Berdirinya
Sebelum menjadi sebuah kesultanan dengan masuknya tradisi Islam dalam sistem pemerintahan, Kutai Kertanegara adalah sebuah kerajaan yang didirikan oleh seorang raja yang bernama Adji Batara Agung Dewa Sakti (1300—1325) pada awal abad ke-14 M. Pada awal berdirinya kerajaan ini berpusat di Muara Mahakam yang dikenal dengan Negeri Jaitan Layar. Jauh sebelum berdirinya kerajaan ini, telah berdiri sebuah kerajaan yang berpusat di pedalaman sungai Mahakam, tepatnya di Muara Kaman, yang dikenal dengan Kerajaan Kutai Martadipura atau Martapura.
Kendatipun demikian, rekontruksi sejarah Kerajaan Kutai Martapura yang dikenal dengan Kerajaan Mulawarman masih diliputi oleh tabir kegelapan. Sebab, sampai sekarang, analisis artefaktual masih sangat kurang dan belum dapat mengungkap "periode gelap" sejarah panjang kerajaan Hindu yang pernah dipimpin oleh Raja Mulawarmman pada abad V, hingga berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad XVII.
Sedangkan pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara, yaitu Adji Batara Agung Dewa Sakti, menurut Silsilah Kutai adalah seseorang yang turun dari langit dan kemudian kawin dengan Putri Karang Melanu yang lahir dari buih sungai Mahakam. Beberapa sejarawan mengungkapkan kemungkinan cerita ini bermaksud memberikan lambang bahwa cikal bakal Kerajaan Kutai Kertanegara adalah percampuran antara penduduk asli yang dilambangkan dengan buih Sungai Mahakam dengan pendatang dari luar yang dilambangkan sebagai orang yang turun dari langit.
Mengenai cikal bakal pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara ini, ada salah satu sumber sejarah yang mengatakan bahwa nama Kertanegara itu sendiri ada hubungannya dengan raja terakhir kerajaan Sinhasari di Jawa. Raja yang dimaksud bemama Kertanagara (1268-1292). Sumber sejarah tersebut menyebut-kan bahwa pada masa kejayaan Sinhasari, Kertanagara pernah singgah di Muara Mahakam karena akan melanjutkan ekspansi ke luar Jawa. Ekspansi yang dilakukan besama para bangsawan Sinhasari merupakan politik luar negeri untuk menghadapi ekspansi Mongol yang sedang giat dilancarkan oleh Kubi Lai Khan. Di dalam perjalanannya ke Muara Mahakam, ada salah seorang bangsawan Sinhasari menikah dengan putri pembesar di Tepian Batu, yang kemudian dapat mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Kutai Kertanegara.
Ada juga dugaan bahwa pada masa keruntuhan Sinhasari banyak bangsawan yang lari meninggalkan Jawa dan pada akhirnya pergi ke Pantai Timur Kalimantan yang kemudian membuat koloni di Kalimantan Timur yang disebut "Kertanegara". Hal ini dapat saja terjadi karena pada saat itu timbul pusat-pusat perdagangan di pantai timur Kalimantan yang banyak dilalui oleh pedagang-pedagang dari Jawa, Filipina, dan Cina. Sedangkan, pusat Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri di Kutai Lama dekat dengan Selat Makasar.
Pada abad ke-15 Kertanegara berusaha melakukan penekanan terhadap Muara Kaman, kendati belum berhasil menaklukkan kerajaan Mulawarman. Dari penyerangan itu, Raja Kertanegara berhasil melarikan putri raja yang kemudian dipersunting menjadi permaisuri dan diberi gelar Mahasuri Bengalon. Dengan demikian, sejak saat itu, telah terjadi percampuran darah kedua kerajaan di Tepian Sungai Mahakam ini.
Tentang asal-usul nama Kutai serta apakah sudah digunakan sebagai nama Kerajaan Mulawarman, masih belum pasti kebenarannya. Yang jelas, nama Kutai itu pertama kali secara resmi disebut dalam buku Nagarakertagama yang ditulis pada masa pemerintahan Majapahit dengan istilah Tanjung (Tunyung) Kutai (Kute) yang oleh Mees diidentikkan dengan Kutai. Nama Kutai ini kemudian diperjelas oleh informasi yang ada dalam Silsilah Raja-Raja Kutai.
Ada pula dugaan bahwa nama Kutai berasal dari bahasa Cina. Pada tiap suku kata namanya memiliki makna: ‘kho’ yang artinya ‘kerajaan‘ dan ‘thai‘ yang artinya ‘besar.‘ Jadi kho-thai artinya adalah ‘kerajaan besar‘ dan lama kelamaan menjadi Kutai. Dugaan ini ada benarnya mengingat pengaruh kebudayaan Cina sangat besar di wilayah nusantara ini. Diinformasikan pula dalam silsilah Kerajaan Kutai bahwa pembesar Cina ada yang tinggal menetap dan menjadi warga di wilayah Kertanegara.
Perkembangan Kesultanan
Berdasar pada letak geografis pusat Kerajaan Kutai Kertanegara sangat strategis. Posisinya yang berada di muara sungai Mahakam. Hal ini secara politik dapat dengan mudah memperlemah Kerajaan Kutai Martapura yang berada di pedalaman Mahakam dengan mengepung dan memutuskan hubungannya dari dunia luar. Kendatipun demikian, Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman masih sanggup bertahan sampai abad XVII. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Hindu di kerajaan Kutai Martapura adalah masyarakat yang kuat.
Sejak awal pertumbuhannya, Kerajaan Kutai Kertanegara telah melakukan kerjasama dengan Kerajaan Majapahit yang pada saat itu mulai menguasai hampir seluruh nusantara. Sebagaimana diberitakan dalam Kronik Kutai, bahwa Aji Maharaja Sultan (1360—1420) dengan saudaranya yang lain melakukan kunjungan ke Majapahit untuk mengadopsi hukum dan tata negara yang sudah berlaku di sana. Bahkan, dalam kronik ini juga disebutkan bahwa salah satu pintu Keraton Majapahit dibawa untuk diletakkan di depan Keraton Kutai. Pada masa kejayaannya, Majapahit juga mengutus perwakilannya untuk duduk dalam pemerintahan Kutai Kertanegara.
Pengaruh Majapahit terhadap Kerajaan Kutai Kertanegara ini berlangsung hingga abad ke-15, seiring semakin memudarnya pengaruh Kejayaan Majapahit yang pada akhirnya hancur di tangan kesultanan Islam yang berpusat di Demak, Jawa Tengah. Masuknya pengaruh Islam di wilayah Kutai ini juga diperkirakan telah mulai dirasakan sejak abad ke-15. Penggunaan nama ‘sultan’ bagi raja ke-3, Maharaja Sultan (1360—1420) dan ‘syah’ bagi raja ke-4, Mandarsyah (1500—1530) merupakan salah satu indikasi yang mengarah ke sana.
Memang belum ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan adanya pengaruh Islam di Kerajaan Kutai pada abad tersebut, tetapi sejak saat itu Islam sudah mulai menyebar ke sebagian besar wilayah nusantara. Bisa jadi, pada abad tersebut Islam juga telah mulai menyebar ke sebagian masyarakat di wilayah Kutai, yang kemudian secara berangsur-¬angsur diterima dengan baik oleh keluarga kerajaan. Sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Asia Tenggara, Azumardi Azra, telaah-telaah Islam di Kalimantan selama ini masih berkutat pada masalah kapan, bagaimana, dan dari mana Islam memasuki wilayah ini. Hampir tidak ada telaah mengenai pertumbuhan lembaga-lembaga Islam dan tradisi keilmuan di kalangan umat Islam di wilayah ini.
Di dalam Kronik Kutai, diberitakan bahwa Islam masuk ke Kerajaan Kutai dibawa oleh dua orang ulama yang datang dari Makasar. Mereka adalah Tuan di Bandang dan Tuan di Parangan, sehingga mulai abad ke-16 Islam diterima dengan baik oleh kerajaan. Dan kemudian, rajanya yang ke-6 bergelar Mahkota Mulia Islam (1525—1600). Bahkan, sang Sultan sempat menyertai Tuan di Parangan berkeliling untuk berdakwah ke hampir seluruh wilayah kekuasaannya, sehingga dalam waktu singkat diperkirakan Islam dipeluk oleh rakyat Kutai. Sejak masa pemerintahan Mahkota Mulia Islam, agama Islam telah dinyatakan sebagai agama resmi pemerintahan dan bentuk kerajaan diubah menjadi kesultanan.
Sementara itu, permusuhan antara Muara Kaman yang masih menganut Hindu dan Kutai Lama yang sudah menganut Islam berlangsung terus hingga mencapai puncaknya pada awal abad ke-17. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1605-1635) mengirim pasukan untuk menyerang ibu kota Kerajaan Kutai Martapura yaitu Muara Kaman dan berhasil menaklukkannya. Sejak kekalahan tersebut, berakhirlah kerajaan Hindu pertama di nusantara, Kerajaan Kutai Martapura, bersamaan dengan gugurya raja terakhir, Dharma Setya.
Ditaklukkannya Muara Kaman sebagai basis kekuatan Kerajaan Mulawarman semakin mengokohkan posisi Kesultanan Kutai Kertanegara sebagai satu-satunya kerajaaan yang berkuasa di wilayah perairan Mahakam. Sejak saat itu, Aji Pangeran Sinum Panji Mandapa (1605—1635) telah berhasil menggabungkan dua kekuatan besar Kerajaan Martapura dan Kertanegara. Seiring dengan kejadian itu, kesultanannya berubah menjadi Kutai Kertanegara ing Martadipura. Ibu kota kerajaan sejak saat itu dipindah dari Jaitan Layar ke Kutai Lama. Inilah tonggak bagi pertumbuhan Kesultanan Kutai di masa-masa berikutnya.
Sejak awal abad ke-17, kerajaan tersebut telah mulai diletakkan dasar-dasar pemerintahan menuju ke arah sistem pemerintahan modern. Pada masa pemerintahan Aji Sinum Panji Mandapa mulai ditetapkan undang-undang yang mengatur jalannya pemerintahan, sehingga kekuasaan raja sudah mulai dibatasi dengan undang-undang. Dua undang-¬undang yang telah ditetapkan pada masa itu, yaitu Undang-undang Dasar Panji Salarin yang terdiri atas 39 pasal dan Undang-undang Beraja Nanti yang terdiri atas 164 pasal. Pada dua undang-undang tersebut semakin tampak pengaruh Islam dimana syariat Islam telah mewarnai sebagian besar isi kedua undang-undang ini.
Pada tahun 1732 ibu kota kesultanan dipindahkan oleh Sultan Aji Muhammad Idris (1732—1739) dari Kutai Lama ke Pemarangan. Kemudian pada tahun 1739 Sultan Aji Muhammad Idris, menantu dari Sultan Wajo, berangkat ke tanah Wajo Sulawesi Selatan untuk turut bertempur bersama rakyat Makassar melawan VOC. Di tahun itu pula, Sultan meninggal di medan perang.
Sepeninggal Sultan Idris terjadilah perebutan kekuasaan oleh Aji Kado. Sedangkan, putra mahkota, Aji Imbut, yang ketika itu masih kecil, dilarikan ke tanah Wajo. Setelah dewasa, Aji Imbut kembali ke Kutai dan dinobatkan oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia kepadanya sebagai Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Muslihuddin. Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Akhirnya, Aji Kado berhasil dikalahkan dan dihukum mati pada tahun 1780. Untuk menghapuskan kenangan pahit di Pemarangan, Aji Imbut memindahkan ibu kota kesultanan ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782 yang kemudian dikenal dengan Tangga Arung (Rumah Raja) dan lama kelamaan menjadi Tenggarong.
Sementara itu, sejak kedatangan Belanda di bawah pimpinan de Houtman dan de Keyzer di Banten pada abad ke-16, secara berangsur-angsur wilayah nusantara jatuh ke tangan penguasa Belanda. Dengan politik Devide et lmpera-nya, pada abad ke-19 Belanda telah berhasil menundukkan hampir seluruh kerajaan di wilayah nusantara, tidak terkecuali wilayah Kalimantan Timur dimana Kerajaan Kutai Kertanegara ada di dalamnya.
Kontak pertama antara Kerajaan Kutai dengan Hindia-Belanda telah terjadi sejak tahun 1635 sebagai akibat dilakukannya perjanjian antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan Kesultanan Banjarmasin. Di antara isi perjanjian itu, menyangkut pembelian lada, bea cukai, dan bantuan VOC terhadap Banjarmasin untuk menundukkan kembali Kutai dan Pasir serta melindungi Banjarmasin dari serangan Mataram. Sejak perjanjian itu, Kutai harus menyetorkan pajak ke Banjarmasin karena kembali diklaim sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Sejak keruntuhan Majapahit kerajaan Banjarmasin memang mcnempatkan kcrajaan Kutai sebagai bagian dari wilayahnya Hanya saja pengaruh Banjarmasin ini tidak begitu kuat seperti Majapahit, sehingga Kutai relatif independen dan tidak ada seorang perwakilan Banjarmasin pun yang ditempatkan di sana.
Pada tanggal 8 Agustus 1825 di istana Tenggarong diadakan perjanjian antara George Muller sebagai perwakilan dari Hindia-Belanda dan Sultan ke-16 yaitu Sultan Muhammad Salehuddin (1780—1859). Perjanjian itu terdiri dari 10 pasal, sedangkan pokok-pokok isinya, yaitu Sultan Kutai berada di bawah perlindungan pemerintah Hindia-Belanda dan semua hak sultan dalam memungut pajak dikuasai Belanda. Perjanjian pada tahun 1825 ini merupakan pejanjian pertama yang menempatkan Kesultanan Kutai langsung di bawah pemerintahan Hindia-Belanda.
Sebelum tahun 1844, pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya masih harus berhadapan dengan Pemerintah Kolonial lnggris yang juga menghendaki serta mengklaim Kalimantan Timur sebagai bagian dari wilayahnya. Hal ini berdasar pada apa yang disebutkan dalam Perjanjian London pada tahun 1824. Barulah pada bulan Maret tahun 1844 Hindia-Belanda mengirimkan pasukan sehubungan adanya insiden dirusaknya kapal dagang lnggris dan terbunuhnya Kapten Murray oleh orang-orang Kutai. Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, Kutai menderita kekalahan dan panglima perang Kesultanan Kutai, Pangeran Awang Long, meninggal dalam pertempuran tersebut. Akhirnya, Kutai tunduk kepada Hindia-Belanda dengan menandatangani perjanjian pada tanggal 11 Oktober 1844. Sejak saat itu, Kerajaan Kutai secara de facto maupun de jure berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda.
Pada tahun 1845 Sultan Salehuddin meninggal dan digantikan oleh anaknya yang masih belum dewasa benama Aji Sulaeman. Sehingga, pemerintahan kerajaan diserahkan kepada tiga orang wali, yaitu Pangeran Mangkubumi, Perdana Menteri, dan Kyai Senopati. Pada Agustus 1846 pemerintah Hindia-Belanda baru mengesahkan pemerintahan Kerajaan Kutai. Dan, pada tahun 1850 diadakan perjanjian kembali antara para wali dan Sultan dengan Hindia-Belanda di Kutai. Sebenarnya, isi perjanjian itu hanya memperbaharui apa yang ada dalam perjanjian pada tahun 1844 dengan Sultan Salehuddin.
Pada tahun 1863 juga diadakan perjanjian antara Kutai dengan Hindia-Belanda yang isinya semakin mempekokoh kekuasaan Belanda atas wilayah Kutai. Dari perjanjian pada tahun 1863 ini, tampak sekali bahwa Kutai secara politik maupun ekonomi telah berada di bawah kekuasaan Hindia-Belanda.
Sejak terjadi interaksi antara Kutai dengan Hindia-Belanda telah terjadi perubahan yang berarti dalam politik dan ekonomi Kutai. Perubahan ini terjadi dengan masuknya 364 lembaga politik dan ekonomi dari luar ke dalam Kerajaan Kutai. Hal ini berakibat berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan yang ada. Selain itu, penemuan tambang batu-bara sebagai akibat dari persentuhan Kutai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan Barat juga sedikit banyak merubah perekonomian kesultanan. Begitu pula dengan berkembangnya perdagangan di Pelabuhan Samarinda sebagai indikator perubahan di kesultanan ini.
Pada tahun 1920 Aji Kaget telah dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Muhammad Aji Parikesit. Oleh karena perekonomian kerajaan yang semakin kuat, Kesultanan Kutai telah memiliki dana sebesar FI. 3.280.000,- dimana jumlah ini sangat fantastis ketika itu. Pada tahun 1936 Aji Kaget mendirikan istana baru yang sangat megah dan kokoh. Proses pembangunan istana itu membutuhkan waktu selama satu tahun.
Pada tahun 1942, Jepang telah berhasil menundukkan Asia termasuk Kutai. Oleh karena itu, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Dua tahun setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Kutai Kertanegara dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat.
Respon pemerintah swaparaja terhadap kemerdekaan Republik Indonesia dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dinilai oleh rakyat Kutai kurang positif. Hal itu terbukti misalnya dengan adanya usaha-usaha kooperatif dari kesultanan dengan kolonial Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali Indonesia. Salah satu wujud konkrit dari usaha tersebut adalah adanya keterlibatan secara aktif dari kalangan bangsawan kesultanan untuk mendukung dibentuknya negara Kalimantan yang dipelopori oleh Kolonial Belanda.
Tujuan di balik pembentukan negara Kalimantan ini sebanarnya hanyalah untuk melaksanakan keinginan kolonial Belanda dalam usaha untuk memecah belah bangsa Indonesia, dan ‘menyayangi’ Republik Indonesia. Sementara itu, pihak kesultanan juga merasa lebih diuntungkan dengan upaya kolonial Belanda dalam rangka melanggengkan kekuasaanya di wilayah ini. Hal inilah yang membuat simpati rakyat Kutai kepada kesultanan semakin memudar. Selain itu, terjadi kesenjangan yang semakin mencolok antara pihak kesultanan dengan rakyatnya yang banyak menderita akibat penjajahan kolonial Belanda.
Sejalan dengan itu, terjadilah gelombang tuntutan demokratisasi pemerintah swaparaja dikalangan rakyat, bahkan kemudian berlanjut pada tuntutan aksi anti swapraja ini. Dengan demikian, sudah mulai muncul aksi terang-terangan menuntut dihapuskannya pemerintahan swapraja, terutama ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Kalimantan pada tahun 1950.
Pada tanggal 27 September 1950 terjadi perundingan di Keraton Tenggarong antara pihak pemerintah swapraja dengan rakyat Kalimantan Timur yang diwakili oleh para pimpinan partai ketika itu. Perundingan tersebut berjalan mulus karena pihak pemerintah swapraja yang diwakili oleh Aji Pangeran Pranoto tidak keberatan dengan tuntutan rakyat tersebut. Persetujuan itu kemudian ditindaklanjuti oleh mak1umat Sultan Aji Muhamad Parikesit. Maklumat tertanggal 27 September 1950 ini menyatakan bahwa kesediannya untuk menghapuskan Swapraja Kutai. Akan tetapi, pengesahan dan pelaksanaan atas keputusan ini akan diatur oleh Pemerintah Pusat.
Sejak saat itu, sebenarnya Kesultanan Kutai sudah kehilangan pengaruhnya di tengah-tengah rakyat Kutai. Pada tanggal 21 Januari 1960 berlangsunglah upacara serah terima pemerintahan Daerah Istimewa Kutai dari Kepala Daerah Sultan Adji Muhammad Parikesit kepada Adji Raden Padmo sebagai Kepala Daerah tingkat II Kutai yang baru bertempat di bekas istana Sultan Kutai, Tenggarong, dan disaksikan oleh Gubernur Kalimantan Timur. Oleh karena dihapuskannya Daerah Istimewa Kutai menjadi Daerah Tingkat II Kutai, maka kepala daerah harus diangkat melalui pencalonan oleh DPRD di daerah yang bersangkutan dan tidak lagi diangkat langsung dari keturunan kesultanan. Dengan demikian, sejak tahun 1960 kekuasaan Kesultanan Kutai Kertanegara baik secara de jure maupun de facto telah dibubarkan.
Sistem Pemerintahan
Sebagaimana diberitakan dalam Kronik Kutai bahwa Aji Maharaji Sultan—raja ke tiga—berkunjung ke Jawa untuk mempelajari hukum dan ketetanegaraan di Majapahit. Majapahit pada saat itu adalah sebuah kerajaan besar yang memiliki pengaruh hampir di seluruh nusantara. Dari situ, dapat dipastikan bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan di Kutai Kertanegara kemungkinan banyak mengadopsi dari Kerajaan Majapahit. Hal itu tampak misalnya dari penggunaan gelar para bangsawan Kutai yang sama dengan gelar yang digunakan bangsawan Majapahit, seperti patih mangkubumi, tumenggun, dan adipati.
Pada masa awal pertumbuhannya, sang raja berkuasa secara penuh dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan dari keluarga yang juga menduduki jabatan sebagai bangsawan. Sebagai sebuah kerajaan, istana Raja Kutai merupakan pusat pemerintahan yang dijalankan secara penuh oleh raja. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh mangkubumi dan para menteri yang membawahi langsung senopati serta para punggawa yang berkedudukan di daerah-daerah.
Setelah pengaruh Islam masuk dalam kerajaan Kutai, maka terjadi perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan. Pada masa pemerintahan Mahkota Mulia Islam (1525—1600) sistem kerajaan berubah menjadi kesultanan dan Islam ditetapkan sebagai agama resmi. Pengaruh Islam dalam sistem pemerintahan Kutai Kertanegara semakin tampak pada masa pemerintahan Aji Sinum Panji Mandapa dengan ditetapkanya dua undang-undang dasar yang mengatur jalannya pemerintahan, yaitu Undang-Undang Panji Salaten dan Beraja Nanti. Kedua undang-undang ini tampak diwarnai oleh syariat Islam. Sejak saat itu, raja tidak lagi berkuasa penuh, melainkan dibatasi dengan undang-undang. Sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Kesultanan Kutai Kertanegara sebenarnya sudah tampak dari kedua undang-undang dasar tersebut. Keduanya digunakan sebagai dasar hukum Kerajaan Kutai Kertanegara. Hukum kerajaan ini berkiblat pada dua sumber, yakni hukum Islam dan hukum adat yang dituangkan dalam kedua undang-¬undang tersebut. Bukti nyata dari perwujudan kedua hukum itu tertera dalam Undang-Undang Dasar Panji Selatan Pasal 1 yang berbunyi, "Yang bernama Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura ialah yang beraja, bermenteri, berorang besar, berhulubalang, berhukum dengan adatnya, bersyara‘ Islam dengan alim ulamanya.” Sistem pemerintahan Kesultanan Kutai yang demikian ini sebenarnya telah terbentuk sejak awal masa pertumbuhan. Sistem ini disinyalir mengadopsi sistem pemerintahan Majapahit. Undang-Undang Panji Salaten ini mulai dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga masih dapat dipelajari sampai sekarang.
Kendatipun sudah mulai dibatasi dengan undang-undang, raja masih tetap merupakan sumber dari segala-galanya bagi kerajaan sebab rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi. Segala sesuatu yang telah diputuskan raja tidak dapat diganggu gugat karena lidah raja adalah adat. Hanya saja, keputusan raja dapat diubah kalau Majelis Orang-Orang Besar dan Orang-Orang Arif yang di wakili oleh alim ulama mufakat dengan raja bahwa putusan raja perlu diubah. Majelis tersebut memutuskan berdasarkan undang-undang tentang wewenang raja.
Di dalam melaksanakan tugasnya, raja memberikan instruksi kepada Mangkubumi. Selanjutnya, Mangkubumilah yang meneruskan kepada bawahan-nya, para menteri dan senopati. Dengan demikian, tugas Mangkubumi serupa dengan peran perdana menteri dalam sistem pemerintahan modern. Selain menerima instruksi raja, Mangkubumi, para menteri, dan senopati juga memberikan saran-saran dan pertimbangan kepada raja. Sebagaimana tampak pada pasal-pasal Undang-Undang Panji Salaten, raja harus tunduk pada peraturan-peraturan tertentu yang mengatur kehidupannya, antara lain; raja jangan meringankan dirinya, jangan duduk di sembarang tempat, jangan jalan di sembarang jalan, dan jangan makan sembarang makan. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa raja berkewajiban menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat yang berada di wilayah kekuasaannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan juga dibantu oleh Majelis yang atas mufakat raja bertugas menetapkan peraturan dan hukum yang berlaku di seluruh kerajaan. Majelis ini beranggotakan kaum bangsawan dan rakyat biasa yang mengerti betul tentang adat istiadat Kutai dan juga ajaran Islam. Peraturan yang dibuat oleh Majelis ini kemudian disebut adat yang diadatkan. Berbeda dengan kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem kekinian, Majelis Orang-Orang Bijak ini memiliki kekuasaan yang sangat terbatas lantaran segala keputusanya baru dikatakan sah dan berlaku untuk seluruh rakyat kalau sudah mendapat persetujuan sultan.
Ketika Kutai berada di bawah pengaruh kolonial Belanda, hukum dan undang-undang adat setempat yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Belanda diabaikan bahkan dihapuskan. Demikian pula halnya dengan sistem pemerintah kerajaan yang lain di kawasan nusantara ketika itu. Strategi ini diterapkan untuk mendukung hegemoni politik pemerintah kolonial. Di samping cara tersebut, Belanda juga mengakomodir hukum dan aturan adat yang sesuai dengan politik kolonialismenya agar seolah-olah Belanda tidak melakukan penjajahan atas mereka. Kebijakan ini diambil berdasarkan kenyataan bahwa rakyat sangat simpati kepada sultan atau raja yang sedang berkuasa.
Sistem pemerintahan raja-raja yang berada di bawah pengaruh langsung Pemerintah Kolonial Belanda ini kemudian dikenal dengan istilah Swapraja. Dengan sistem pemerintahan seperti ini, raja-raja dapat dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai rakyat Indonesia tanpa harus bersusah payah menyediakan struktur pemerintahan yang baru. Dengan dipertahankan sistem kerajaan, maka hampir tidak banyak terjadi perubahan dalam sistem ketatanegaraan Kutai sampai di era kemerdekaan.
Peninggalan Budaya
Salah satu peninggalan kebudayaan Kesultanan Kutai yang hingga kini masih selalu diperingati hampir setiap tahun adalah perayaan Erau. Erau berasal dari kata ‘E‘ yaitu entoq yang artinya ‘bersentuhan‘ dan rau yang artinya ‘ramai-ramai‘. Dengan kata lain, upacara ini merupakan pesta rakyat untuk memperingati hari kelahiran atau penobatan menjadi raja. Perayaan ini biasanya dilakukan di istana Kutai sekurang-kurangnya selama 7 hari 7 malam. Pada perayaan Erau ini hampir semua pertujukan budaya dan adat rakyat Kutai diselenggarakan, sehingga membutuhkan waktu sampai satu bulan lamanya. Pada waktu perayaan ini semua pejabat dan bangsawan kerajaan, dari Punggawa sampai Kepala Adat dari seluruh wilayah Kutai berkumpul di ibu kota dengan masing-¬masing rakyatnya yang telah siap dengan bermacam-macam tarian dan kesenian untuk dipertunjukkan. Upacara Erau juga dilakukan untuk pemberian gelar kepada para bangsawan dan memberikan jamuan kepada rakyat.
Di dalam perayaan Erau, ada upacara adat yang harus dilakukan mulai malam pertama sampai dengan malam ke tujuh. Upacara ini dalam bahasa Kutai disebut “berpelas” dan dilakukan dari pukul 22.00 sampai dengan pukul 23.00. Raja dengan pakaiannya adat naik ke atas kasur yang dialasi dengan kain beludru dan kain satin kuning. Di atas kain itu, dihampari dengan sehelai tikar pandan yang dihiasi dengan benang emas. Di atas tikar itu, ada pula kain sutera yang dilipat secara berliku-liku yang disebut dengan Tapak Liman. Dari ujung kasur, Raja berjalan selangkah demi selangkah sambil mengikuti irama gamelan menuju ke ujung kasur.
Di tangan kanan dan kiri, Raja memegang sehelai tali yang dibuat dari emas yang disebut Tali Juwita. Di ujung tali, masing-masing terikat dengan semacam cincin yang disebut Cincin Pihatu, yang masing-masing dipegang oleh seorang wanita yang menjadi kepala dari Pangkon kanan dan kiri raja. Wanita tersebut bergelar Dayang Tumenggung dan Dayang Mas Noto. Pada ujung lain dari kedua tali itu terikat dengan dua batang sumpitan yang masing-masing disebut Songkoh Piatu dan Songkoh Buntut Yupa. Pada ujung kedua tali tersebut juga terikat sebuah raga emas, keris Burit Kang, dan sebuah benda yang disebut Uncal yang semuanya terbuat dari emas.
Kedua Songkoh di atas didirikan dekat dengan dua buah gong yang diberi nama Gong Raden Galuh dan Gong Margapati. Sesampainya raja berjalan ke ujung kasur, raja harus menginjakkan kedua kakinya ke atas kedua gong tersebut dan kemudian berbalik ke ujung kasur semula. Demikian dilakukan pada malam pertama sebanyak satu kali, pada malam kedua sebanyak dua kali terus sampai malam ketujuh sebanyak tujuh kali. Pada waktu raja berpelas, semua pangkon (dayang) berdiri dan ketika raja duduk mereka ikut duduk.
Pada hari ketujuh, kira-kira pukul tujuh pagi dilakukan sebuah upacara yang disebut menyamper. Raja naik ke sebuah balai yang dibuat dari 32 tiang bambu dan tujuh lantai. Di atas balai itu, Sang Raja duduk beserta Permaisurinya. Pada upacara ini dibacakan doa dengan iringan musik seruling hingga pukul delapan pagi.
Sedangkan pada sore harinya, Raja turun ke tepian sungai Mahakam dan diiringi oleh keluarga beserta rakyat terutama dari tiga kampong; Panji Jawa, Melayu, dan Baru. Kira-kira jam lima sore, Sang Raja dan Permaisuri mandi dengan disirami air yang sebelumnya telah dibacakan doa dan mantra oleh para Pujangga dan Dewa. Setelah itu, Raja dan Permaisuri turun ke sungai dan diikuti oleh rakyatnya seraya saling menyiram satu dengan yang lain.
Sebagai acara penutup, Raja beserta sejumlah kerabat dan rakyatnya pergi ke Kutai Lama dengan membawa dua ekor naga yang dibuat dari bambu dan rotan dan ¬dibungkus dengan kain berwarna sisik naga. Kepala dan ekor naga terbuat dari kayu yang kemudian dihanyutkan ke Laut Tepian Batu. Setelah upacara se1esai, kepala dan ekor naga diambil kembali untuk perayaan tahun berikutnya sementara kain pembungkus naga diambil oleh rakyat setempat.
Rupa-rupanya, tari topeng dapat ditemukan di beberapa tcmpat di tanah air, tidak terkecuali di Kesultanan Kutai. Namun, dalam kenyataannya kesenian ini ada yang terus berlanjut dan ada pula yang mati. Di Kutai, kesenian ini sekarang sudah punah lantaran kalah dengan upacara adat Erau.
Sejak berakhirnya pengaruh Kesultanan pada tahun 1960, upacara adat ini tetap dipelihara dan diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai sebagai wujud kepedulian terhadap warisan ¬budaya kesultanan. Upacara ini biasanya diselenggarakan bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Tenggarong pada tanggal 28 September.

URGENSI PANGAN DALAM NEGARA
Oleh : Agus

Seiring dengan meningkatnya penduduk dan produksi pangan yang semakin berkurang, membuat beberapa harga kebutuhan pangan melonjak. Tidak hanya dalam pasaran lokal yang menjerit dengan kenaikan ini, bahkan dunia merasakan dampaknya. Karena kebutuhan dunia yang besar sementara kesediaan pangan mengalami penurunan. Demikian halnya yang dirasakan oleh masyarakat indonesia.
Kebutuhan pangan Indonesia yang sangat tinggi, menjadikan Indonesia menjadi negara pengekspor beras, gandum, gula dan buah – buahan. Menjadikan Indonesia dalam posisi yang rawan, sebab kebutuhan pangan telah terkendali oleh negara dan pihak luar. Jika masalah pangan sudah dikendalikan oleh pihak luar maka ketergantungan akan menjadi masalah besar. Sebab makanan adalah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Kebutuhan beras yang di – impor dari Thailand begitu pula buah – buahan yang membanjiri pasaran Indonesia. Menimbulkan sebuah dilema yang sangat kronik, negara luas yang memiliki tanah garapan pertanian yang luas serta tanah yang subur. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam hal pangan, dan menjadi sebuah bantahan terhadap titel Indonesia sebagai bangsa Agraris.
Hal ini akan menjadi pertanyaan besar, apakah masyarakat Indonesia yang malas untuk mengelola lahan pertanian? Atau sistem bertani yang kurang baik? Atau dukungan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani? Atau arah pembangunan bangsa ini tidak pernah diterapkan kepada pembangunan Agraris tetapi hanya mementingkan pembangunan kelas atas/konglomerasi?
Dari pertanyaan diatas, dapat dilihat kondisi negeri ini dalam memperlakukan pertanian dan pangan. Fakta yang menunjukkan bahwa kepedulian negara dalam memproduksi dan memperkuat ekonomi agraris sangat minim, dan memberikan peringkat kecil dalam urutan prioritas pembangunan. Mengapa demikian?
Hal ini dapat dilihat dari harga – harga komoditas pertanian dalam negeri tidak pernah diproteksi, sehingga produk pertanian lebih banyak di perjual belikan dalam kalangan lokal, golongan bawah dan dengan harga rendah. Demikian pula dengan produk pertanian luar yang semakin membuat petani terjepit gempuran produk pertanian asing. Misalnya buah – buahan asal Thailand ( Bangkok ), begitu juga beras.
Begitu pula keberpihakan petani akan kebutuhan pertanian, kelangkaan pupuk dan tingginya harga obat – obatan dan benih. Merupakan bukti ketidak pedulian pemerintah kepada para pahlawan pangan yang nota bene merupakan penentu kelangusngan hidup dan bukti kemakmuran suatu bangsa. Jika kebutuhan pangan telah mampu di penuhi, maka negeri ini boleh menjadi negara Agraris yang sebenarnya bukan negara Agraris dalam hal sebutan karena lahan pertaniannya luas. Tetapi menjadi negara Agraris karena mampu menunjukkan hasil pertanian dan kebutuhan negara terhadap pertanian bukan merupakan sebuah kendala. Alias mampu berswasembada pangan.

FENOMENA ALAM VS ULAH MANUSIA

OLEH : AGUS

Sangat miris jika mengikuti perkembangan informasi media massa dan cetak beberapa waktu ini, betapa tidak? Korban jiwa meninggal maupun terluka serta kehilangan tempat tinggal menimpa banyak orang di beberapa daerah. Hal ini terjadi karena bencana alam mulai dari banjir hingga tanah longsor.

Rupanya alam mulai tidak ramah dengan manusia, atau mungkin selama ini manusia mulai tidak memperlakukan alam sebagaimana mestinya. Boleh saja sebahagian berpendapat bahwa ini adalah fenomena alam. Namun hal ini terjadi jika melihat secara nyata disekitar kita begitu banyak kesalahan yang telah diperbuat manusia terhadap alam. Keseimbangan alam terancam oleh kebutuhan ekonomi yang berlebihan dan dikelola secara sekehendak hati.

Penebangan hutan secara besar – besaran dan eksploitasi sumber daya alam mineral, mislanya minyak bumi dan batu bara. Sebuah kesimpulan yang sukar untuk dibantah jika melihat kondisi geografi di negeri ini yang telah berubah dari kondisi hijau dan segar menjadi kawasan yang gersang dan berdebu. Tentu dengan pemanfaatan sumber daya alam secara besar – besaran menjadikan dilema dalam memperlakukan alam. Sebab untuk merehabilitasi dan mengembalikan alam seperti semula memerlukan biaya yang lebih tinggi. Oleh karena itu banyak perusahaan pertambangan dan kehutanan tidak mentaati peraturan yang mengharuskan rehabilitasi kembali eks tambang.

Dengan keadaan kerusakan hutan serta penambangan, maka kondisi alam tidak mampu untuk membendung debit air. Serta tidak ada lagi penopang bagi tanah dataran tinggi. Karena pepohonan yang ada telah hilang, sehingga bencana banjir dan longsor tidak dapat terelakkan lagi. Dengan demikian kenyamanan hidup terganggu oleh alam, yang disebabkan oleh manusia sendiri.

Ketika melihat kondisi telah terjadi saat ini, maka pemanfaatan alam harus lebih bijaksana meski harga ekonomi pertambangan saat ini berada dalam level yang tinggi. Namun dampak terhadap kehidupan juga cukup tinggi.

21 Oktober, 2008

REFERENSI

Kebudayaan Nusantara

Sulawesi / Celebes

I
Secara geologis, awalnya pulau Sulawesi terdiri atas tujuh pulau yang dipisahkan oleh laut. Lalu, akibat gerak bumi maka terjadi penyatuan wilayah(unifikasi). Ukuran melihatnya bisa lewat satwa endemik, kera yang berbeda dibeberapa tempat, mulai kera di Maros(sulsel) sampai Tarsius(kera kecil) di Sulawesi Utara. Diantara bentangan kepulauan nusantara lainnya, Sulawesi disebut sebagai pulau tua(proto-island). Pada tingkat kebudayaan, maka menjadi wajar kalau terdapat klaim/pengakuan diri sebagai sentrum/pusat kebudayaan disetiap bekas tujuh pulau terpisah. Minahasa menyebut dirinya awal di Sulawesi Utara, Kalumpang yakin merekalah sejarah kebudayaan awal di Sulawesi Barat, Luwu, berdasar pada sureq I Lagaligo, menyebut diri leluhur masyarakat di Sulawesi Selatan.

II
Dengan sendirinya, kebudayaan pertama adalah kebudayaan yang bersumber dari pegunungan atau dataran tinggi. Bermigrasi dan menyebar seiring garis pantai terbentuk didataran lebih rendah. Karena itu kultur sebagai pelaut pun dibangun sejak lama bahkan ditempat yang sekarang kita sebut daerah pegunungan. Cerita tentang ‘perahu Sawerigading’ yang telah menjadi semacam “kesepahaman-cerita” mulai dari masyarakat di Selayar(gong Sawerigading) sampai di Benawa/Kaili(perahu Sawerigading), dapat ditemukan jejak masa lalu pelaut-pelaut Sulawesi.

III
Manusia pertama/awal di Sulawesi di sejumlah komunitas suku/masyarakat disebutkan terkait dengan air. Misalnya, leluhur Minahasa, To-ar dan Lumimuut. Keduanya disebutkan keluar dari air. Komunitas adat Mappurondo, didataran tinggi Mambi meyakini leluhur pertama mereka adalah to rije’ne atau orang air. Atau masyarakat tua kalumpang didataran tinggi mamuju, yang secara historis masih memiliki ikatan sosial dengan to kaili(suku kaili) menyebut manusia pertama mereka sebagai ; to kombong diburra, to bisse di tallang atau lahir dari buih air, keluar dari bambu.

IV
Penggunaan kata To, Tu, Toa, Tou, sangat banyak ditemukan diberbagai komunitas adat/suku/sub-suku di sepanjang kepulauan Sulawesi. Misalnya di Luwu Wo-tu atau po-tu berarti keluarga atau rumpun keluarga, pemimpin adat masyarakat/suku Kajang-Bulukumba, digelari : Amma-toa. Di Minahasa, tempat pertemuan leluhur mereka disebuah batu tua yang diberi nama Wa-tu Pi-nawetengan. Lelaki minahasa, dipanggil tu-ama, pemimpin warga disebut To-naas. Pemimpin tertinggi dikerajaan tua Luwu(sulsel) digelari da-tu. Di Minahasa, penyebutan sub-etnis pun menggunakan kata Tou : Tou-dano, Tou-temboan. Tidak berbeda dengan penyebutan suku disekitar pantai timur Sulawesi selatan (To-raja) dan pantai barat Sulawesi tenggara (To-laki). Di daerah Bambang, Sulawesi Barat pemimpin komunitas digelari To-ma-tua-to-nda yang berarti orang tua kampung.

V
Sejumlah kemiripan/kesamaan sebutan bisa kita lihat antara sejumlah masyarakat/suku/komunitas di sepanjang Sulawesi. Misalnya antara Banggae(majene), Bangga(Kaili), Banggaiba(Sulteng), Banggai(Luwuk), Binanga(Mandar), Binuang, Bitung(Sulut), Butung(Buton). Kata ‘La’ sebagai penanda kita temukan mulai dari La galigo, La ode(gelar bangsawan di Sulawesi tenggara), hingga La hillote (tokoh spiritual kharismatik gorontalo). Dalam aktfitas sehari-hari, misalnya makan, juga dapat ditemukan sebaran kata yang mirip : nganre(makassar), mandre(bugis), mande-kumande(toraja), monga(gorontalo), mongaan(bolaang mongondow). Jika benar kata ‘pi’ adalah satu kata kunci lama nusantara maka di Sulawesi juga sama. Kita bisa lihat dalam: pi-tumpanua(Selatan palopo, wilayah ke-da-tu-an luwu), pi-tu ulunna salu, pi-tu ba’bana binanga(tujuh kerajaan dihulu sungai, dan tujuh kerajaan dihilir, sebagai persekutuan adat tanah mandar), pi-nawetengan(tempat pertemuan, leluhur Minahasa).

VI
Secara politik, rata-rata Sulawesi memperlihatkan kalau pola/model konfederasi atau serikat kerajaan-kerajaan adalah pilihan yang dipakai dalam membangun kekuasaan/tata pemerintahan. Luwu sebagai ke-datu-an dikembangkan dari dasar kesatuan Anak Tellue: Bua’, Ponrang, dan Baebunta. Di jazirah Mandar, kita mengenal persekutuan pitu ulunna salu pitu ba’bana binanga sebagai bentul konfederasi politik yang berfungsi untuk menata relasi politik kewilayahan dan proteksi atas kepentingan kolektif seluruh pihak persekutuan. Fakta yang serupa, bisa kita lihat dalam konfederasi linula-linula di Gorontalo(Hulondalo), menjadi bukti kalau semangat kolektivisme dan kekerabatan, tidak hanya menjadi ikatan bersifat geo-kultural, tapi juga efektif untuk kepentingan geopolitik.

(Operasi Achilles, Universitas Hasanuddin, 2006)

REFERENSI

TIPIKAL PERTAMBANGAN INDONESIA

Meski sudah dieksplorasi sejak lama, pertambangan masih menyisakan berbagai problem bagi masyarakat dan negara. Kerusakan ekosistem dan lingkungan yang terjadi tidak memiliki keseimbangan terhadap input bagi kesejahteraan masyarakat sekitar tambang maupun konpensasi yang memadai bagi negara. Apalagi memberikan efek ketidak nyamanan warga sekitar tambang akibat suara bising mesin, debu dan becek serta kerusakan infrastruktur umum (jalan) akibat aktifitas alat berat yang menggunakan jalan umum untuk kepentingan pertambangan.

Belakangan ini, bahan energi pertambangan memang sedang menjadi primadona dan memiliki nilai jual tinggi. Namun sebagai salah satu negara yang memilik kawasan pertambangan, tidak serta merta membuat kehidupan masyarakat dapat sedikit bernafas lega. Malah menimbulkan problem baru yang berkepanjangan, karena terjadi kelangkaan dimana – mana dan meimbulkan antrian masyarakat ketika membeli Bahan bakar minyak (BBM).

Jika hal diatas masih terjadi apakah yang menjadi sumber permasalahan tersebut, apakah perlu ditinjau kembali oleh pemerintah mengenai beberapa hal dibawah ini :

TATA KUASA
Banyak UU yang semakin memuluskan jalan MNC; UU migas No 22/2001, UU No 19/2004, UU Penanaman modal asing, RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Gerakan penghematan energi yang dicanangkan Presiden SBY melalui Inpres No 10/2005 hanya akan tepat dan bermakna bila akar energi di Indonesia dievaluasi secara sistemik
Penawaran wilayah kerja migas atau yang biasa disebut blok migas terus menerus dilakukan oleh pemerintah pusat.
Belum adanya UU Energi Nasional yang secara integratif mengatur mengenai eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan sumber-sumber energi yang non-terbarukan dan terbarukan, serta dapat menjadi acuan bagi seluruh kebijakan di sektor energi.

TATA KELOLA

Banyak tambang didirikandan dikelola oleh perusahaan asing
Eksploitasi energy tidak meningindahkan ketahan energy nasional dan kebutuhan generasi mendatang dan menghancurkan lingkungan
Implementasi kebijakan di sektor energi yang beorientasi pada ekspor energi untuk mendatangkan devisa, kebijakan liberalisasi dan deregulasi justru mengancam kepentingan nasional.

TATA PRODUKSI

Kebijakan energi yang ada saat ini menyebabkan kelangkaan energi dan menyebabkan jurang ekonomi yang lebar antara Jawa vs. luar Jawa, serta antara kaya dan miskin.
Liberalisasi sektor energi yang tidak terencana dengan baik serta tanpa adanya tujuan dan strategi yang terukur menyebabkan kita kehilangan manfaat terbesar.
Liberalisasi di sektor migas, menyebabkan harga gas terpaksa dijual sangat murah diluar negeri sedangkan industri dalam negeri membeli dengan harga yang lebih tinggi.
Akibat liberalisasi migas, produksi minyak mentah Indonesia juga turun drastis dibawah normal (diatas 1 juta barrel per hari) dan untuk memenuhi kebutuhan domestik, pemerintah harus membeli minyak bumi dari pasar luar negeri.

TATA DISTRIBUSI
Dikuasai oleh spekulan dan penimbun
Aturan distribusi yang semberawut
Lemah dan langkanya operasi pasar
Lemahnya kordinasi antar instansi terkait
Tingginya tingkat korupsi

TATA KONSUMSI
ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil untuk mendorong pembangunan ekonomi dalam jangka panjang dapat mengancam kesinambungan
Lemahnya tingkat ekonomi rakyat

TINDAK LANJUT PERMASALAHAN
Penghapusan utang luar negeri
Evaluasi dan Renegosiasi Perijinan.
Hentian Keluarnya Ijin-ijin Baru
Review dan Pembaharuan Kebijakan Pertambangan
Pengelolaan dan Pencadangan Mineral Untuk Masa Depan
Pengembangan sumber –sumber energi terbarukan
Peningkatan standar Pengelolaan Lingkungan
Mandatory resolusi konflik

referensi

PROFIL BUKIT SUHARTO

Bukit Suharto secara geografis terletak di 115036’00” sampai 116054’00” BT dan 0050’00” sampai 1001’15” LS. terletak disisi jalan negara Samarinda –Balikpapan, yang merupakan bekas areal pembalakan PT. Wayerhouser, PT CIDATIM, PT Inhutani I dan PT RDR. Namun sekitar tahun 1982/1983 dan 1987/1988 pernah mengalami kebakaran.

Sejarah Penamaan Bukit Soeharto karena, oleh masyarakat yang berada dalam dan sekitar hutan tersebut, menurut cerita bermula sejak Bapak Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai Presiden RI melakukan peninjauan ke Kalimantan Timur dan helikopternya singgah di Bukit tersebut.

Batas lokasi Bukit Suharto, yaitu :
Sebelah Utara : Daerah Sungai Kadisen Km 74 dari Balikpapan dan Daerah Sungai Nangka
Kecamatan Loa Janan
Sebelah Selatan : Km 57 dari Balikpapan Daerah Senipah dan Sungai Saka Kanan
Kotamadya Samarinda
Sebelah Barat : Sungai Semoi Ulu, Sungai Tangan Kiri dan Daerah Sungai Loa Janan
Kabupaten Kutai, Jalan Raya Samarinda-Balikpapan
Sebelah Timur : Perkebunan PT. Rimba Jaya Daerah Sungai Bambangan
Kecamatan Samboja
Berdasarkan administrasi kehutanan, Bukit suharto termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Loa Janan, BKPH Samboja dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Mahakam Ilir.

Sejarah penetapan

Penamaan Bukit Soeharto oleh masyarakat yang berada dalam dan sekitar hutan tersebut, menurut cerita bermula sejak Bapak Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai Presiden RI melakukan peninjauan ke Kalimantan Timur dan helikopternya singgah di Bukit tersebut.

Gubernur menetapkan hutan sepanjanng 36 km pada jalur Jalan Samarinda-Balikpapan sebagai:
Zona produksi
Zona pelestarian lingkungan hidup
Gubernur mengusulkan penunjukkan hutan lindung Bukit Soeharto seluas 33.760 ha dengan SK. Gubernur No. 004-DA-1978 tanggal 15 Juni 1978
Berdasarkan SK. Gubernur No. 009-DA-1978 tanggal 8 November 1978 kawasan tersebut ditetapkan sebagai Hutan Pendidikan dan Penelitian yang pengelolaannya diserahkan pada Universitas Mulawarman.
Berdasarkan perintisan batas sementara tanggal 27 Oktober- 30 November 1981 luas keseluruhannya adalah 27.000 ha.
Menteri Pertanian tanggal 10 Januari 1982 dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 818/Kpts/Um/II/1982menetapkan:
Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 ha
Setelah tata batas selesai, kawasan Hutan seluas 3.200 ha dikeluarkan dari Hutan Lindung sehinggga luas Hutan Lindung menjadi 23.800 ha
Menteri Kehutanan tanggal 18 Agustus 1987 dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 245/Kpts-II/1987 menetapkan
Hutan Lindung seluas 23.800 ha diubah fungsi menjadi Hutan Wisata dengan penambahan luas 41.050 ha sehingga luas seluruhnya menjadi 64.850 ha
Menteri Kehutanan tanggal 20 Mei 1991 dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 270/Kpts-II/1991 menetapkan:
Luas definitif kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto menjadi 61.850 ha, sehingga masyarakat atau orang di sekitar Taman Hutan Raya Bukit Soeharto dilarang masuk dan berusaha di dalam kawasan tersebut seperti melakukan kegiatan di dalam hutan tanpa ijin dan dilarang mengambil hasil hutan di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto (baik flora atau fauna). Namun Bukit Soeharto sendiri dapat dikatakan rawan terhadap pencurian hasil hutan, masyarakat atau orang luar yang berusaha mengambil hasil hutan tersebut secara tidak sah.

Perkembangan pengelolaan Hutan pada Jalur Jalan Samarinda-Balikpapan (32km)

Lingkungan Hutan Lindung Bukit Soeharto dikelola berdasarkan Kep.Pres No. 001/IHHT/1980 dengan dana Rp. 118.700.000,-, aproach legalitas, sosial, teknis.
Dikelola oleh Pemerintah Daerah dengan dasar Rencana Lima Tahun Terpadu (Translok, Pembinaan masyarakat desa, RRL, Pertanian Umum dan sebagainya)
Saran Menteri Kehutanan, bahwa Hutan Lindung Bukit Soeharto dikelola sebagai Taman Hutan Raya Bukit Soeharto (Sepakat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)
Penyelenggaraan inventarisasi penduduk, ditemukan 647 KK
Pelaksanaan reboisasi oleh anggota MPI Propinsi Kalimantan Timur dalam bentuk partisipasi pada kawasan Hutan Wisata seluas 3.687,5 ha (SK. Gubernur No. 418 tahun 1989 tanggal 11 Desember 1989)
Translok penduduk Hutan Lindung keluar Tahura oleh Departemen Kehutanan:
Tanggal 26 Maret 1990 sebanyak 50 KK
Tanggal 12 Juli 1990 sebanyak 123 KK
Tanggal 4 Juli 1990 sebanyak 182 KK
Tanggal 31 Januari 1991 sebanyak 145 KK
Jumlah KK yang dipindahkan 500 KK (ke Sungai Merdeka), sisa 197 KK ditambah penduduk pendatang baru menjadi 287 KK. Diluar Kawasan Hutan Lindung dan masih dalam Kawasan Hutan Wisata masih terdapat penduduk ± 2.600 KK (Data Kutai Dalam Angka tahun 1992)
Pelaksanaan reboisasi oleh anggota MPI Propinsi kalimantan Timur kelanjutan Reboisasi tahun 1991 seluas 1.757,5 ha (SK. Kakanwil Departemen Kehutanan No. 014/Kpts/KWL/RRL-1/1992)

Perkembangan kondisi kawasan (Citra lanssat 1991-1993)

Timbulnya hutan rawang akibat kebakaran hutan seluas 31.850 ha terdiri dari rusak sedang 20.650 ha, rusak parah 11.200 ha
Perambahan untuk ladang meningkat terus (lada, cengkeh), luas garapan di dalam Hutan Lindung menjadi 1.088 ha
Seluruh kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto tumpang tindih berada di dalam kawasan Eksplorasi PT. HUFFCO ( PT. VICO) yang luasnya 500.000 ha (masa KP 1969-1989)


Perkembangan status Tahura

Atas dasar saran Menteri Kehutanan, Hutan Lindung Bukit Soeharto dikelola sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) dengan penambahan areal seluas 41.050 ha (sehingga luas seluruhnya 61.850)
1986-1987 telah dibuat Design Enginering-nya dan sampai sekarang belum disahkan.
Telah dibentuk Polsek Bukit Soeharto dalam rangka persiapan pengamanan dalam pengelolaan Tahura Bukit Soeharto.
Status Tahura bukit Soeharto tidak pernah diselesaikan, malahan tahun 1991 dikeluarkan SK. Menteri Kehutanan No. 270/Kpts-II/1991 tanggal 20 Mei 1991 yang menetapkan status Hutan Wisata secara definitif dengan luas 61.850 ha.

Pembagian zona

Luas kawasan Hutan Wisata seluas 61.850 ha terbagi atas beberapa zonasi dengan rincian sebagai berikut :


No. Zonasi Lokasi Luasan (ha) Pengelola
1 Hutan Lindung Loa Haur 26.000 ha Pemda/Dinas Kehutanan
2 Taman Safari Samboja 6.000 ha Pemda/KSDA
3 Danau Buatan Loa Haur Ulu 3.200 ha Pemda/KSDA
4 Perkemahan Pramuka Gunung Utuh 1.300 ha Pemda Kwarda Pramuka
5 Pusrehut UNMUL Km. 56 8.746 ha Universitas Mulawarman
6 Hutan Penelitian Samboja/Wanariset Samboja 3.504 ha Balai Penelitian Kehutanan
(Kep.Menhut. No. 290/Kpts-II/1990)
7 Hutan Pendidikan Samboja 1.400 ha Politeknik Pertanian Jurusan Kehutanan
8 Museum Kayu Bakungan 1.000 ha Pemda/Dinas Kehutanan
9 Kawasan Wisata Tanah Merah 4.200 ha Pemda/Dinas Kehutanan
10 Dikeluarkan dari kawasan hutan - 6.500 ha Pemda/Pemantapan Pemukinan


Kawasan Bukit Suharto memiliki kekayaan flora dan fauna yan gberaneka ragam. Kawasan ini dihuni oleh Satwa liar yang terdapat pada lokasi ini terdiri atas :
31 jenis mamalia, Orang utan (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), Trenggiling (Manis javanicus), Babi hutan (Sus barbatus),), Beruang madu (Helarctos malayanus), Kucing hutan (Felis sp), Payau (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak, Muntiacus atherodes), Kancil (Tragulus javanicus, Tragulus napu), Owa-owa (Hylobates muelleri), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Macan dahan (Neofelis nebolusa), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), jenis-jenis tikus (Rattus sp, Rattus rattus, Rattus exulan, Rattus muelleri, Rattus cremoriventer, Rattus whitehedl, Rattus sabanus), Callosciurus presbitis, Callosciurus notatus,Callosiurus sp, Sundasciurus sp, Sundasciurus hippurus, Nannosciurusmelanotis, Petaruista petaruista, dan lain-lain)
Berbagai jenis reptilia
84 jenis burung, dua diantaranya adalah burung enggang (Bucheros rhinocheros,Anorrhinus galeritus)
4. Berbagai jenis kelelawar
Sedangkan tumbuhan yang hidup dikawasan ini terdiri atas vegetasi hutan primer datar 10 %. Hutan primer bergelombang 38%, belukar 22% dan ilalang 30%. Komposisi tumbuhan yang ada pada lokasi Bukit Soeharto sangat bervariasi tetapi didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Myristicaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Burceraceae, Annonaceae, Sapotaceae, Lauraceae, Verbenaceae, serta berbagai jenis tumbuhan paku, anggrek, rumput-rumputan serta lumut-lumutan.
Sedangkan untuk jenis-jenis primer yang mendominasi adalah Ulin (Eusideroxylon zwageri, Shorea leavis, Diptecocarpus cornutus, Palaquium gluta, Dyospyros curaniopsis, Baccaurea spp, Knema spp, Litsea spp, Shore ovalis, S. parvifolia, S acuminata, Cotylelobium spp, Dipterocarpus caudatus, Eugenia spp, Aglaia spp dan lain sebagainya
Untuk jenis-jenis sekunder didominasi oleh Macaranga triloba, M. gigantea, M. hypoleuca, Anthocephalus chinensis, Mallotus paniculatus, Trema orientalis, Trema spp, Dillenia spp, Vitex pubescens, Ficus spp dan lain sebagainya.

Kondisi iklim dikawasan Bukit Suharto, Menurut klasifikasi SMITH dan FERGUSON termasuk tipe A dengan nilai Q sekitar 4,4 %. Dengan Curah hujan rataan tahunan 2269,5 mm, rata-rata hari hujan bulanan 16,4 tanpa bulan kering. Serta, memiliki kelembaban relatif rata-rata harian 83% dengan kisaran 81,2% - 86,7%.Temperatur rata-rata harian 27,2 ° C. sedangkan Tanah dalam kawasan ini termasuk jenis:
Podsolik merah kuning (± 75 %)
Kompleks Podsolik merah kuning, latosol, litosol (± 20%)
Tanah Aluvial (± 5%)
Dan jenis tanah dikawasan ini termasuk tanah yang peka terhadap erosi. Kelas ini memiliki erodibilitas tanah berkisar antara sedang (0,21-0,32) sampai sangat tinggi (> 0,56. Pola aliran sungai Bukit Suharto, mempunyai pola aliran dendritik dantrelis dengan kerapatan 9-15 m/ha Termasuk daerah patahan dengan formasi batuan sedimen dari material batuan pasir shale, batuan endapan dan endapan non-vulkanik serta bersifat sarang. Sedangkan topografinya, bergelombang ringan dengan kelerengan 10-60%. Ketinggian rataan dari permukaan laut 60 m-120 m, dengan titik tertinggi 225 dpl.

Keadaan Sosial – ekonomi masyarakat sekitar Bukit Suharto adalah :
Kepadatan penduduk 0,28-05 jiwa/km² dengan tingkat pertumbuhan 3,7-7,8 %/ tahun
Pada umumnya bermata pencaharian sebagai karyawan, buruh, dagang 51%, petani/peladang 48%, nelayan 1%.
Penduduk di dalam kawasan hutan wisata diluar eks Hutan Lidung jumlahnya ± 2.600 KK.
Dari penelitian yang pernah dilakukan di Semoi 2,
Penduduknya berasal dari transmigrasi (Jawa Timur, Jawa Tengah), para pendatang dari Kalimantan Selatan, Sulawesi, Madura dan Kalimantan Timur sendiri.
Mata pencarian penduduk umumnya adalah berladang lada/sahang, bertanam palawija, padi, beternak. Juga berkebun yang ditanami dengan tanaman keras seperti durian, kopi, sukun dan berbagai macam buah-buahan.
Sedangkan dari penelitian yang pernah dilakukan di Sungai Merdeka,
Penduduknya adalah pendatang, mereka padamulanya adalah pekerja proyek jalan Kalimantan, tetapi adapula yang sengaja datang untuk bermukim karena beberapa alasan (ajakan keluarga, mencari pekerjaan, lahan yang sesuai bagi mereka). Sebagian yang datang dari Sulawesi Selatan, Kalsel, Jawa dan sebagainya.
Mata pencaharian mereka umumnya bertani, bercocok tanam padi, palawija, berkebun (untuk kegiatan perkebunan biasanya mereka bertanam lada).

puisi

Cerita Malam

Hening menggauli malam
Dalam dekapan rembulan temaram
Berbisik mesra nyanyian jangkrik
Membuai Kesyahduan malam

Langit gelap membelai bintang – bintang
Awan putih bergelayut mesra
Kerlip bintang merona pasi
Menatap hamparan bumi

Dedaunan terhenyak
Desahan angin malam mereda
membisikkan ikrar alam
merengkuh asa kedamaian

puisi

Frustasi

Bayang- bayang berkelebat
Lenyap ditelan masa
Menjauh tak berbekas
Bersih tersapu oleh amarah

Tak kan kembali
Layak bulan pergi disiang hari
Kan datang ketika kelam
Tapi kau Pergi bak air menuju laut

Jangan kembali
Sebab pungguk rindukan bulan
Aku perih menanggung cinta
Kamu bukan pencinta hakiki

Meski kau pinta
Layar hati mustahil mengembang
Sebab perahu hati telah menepi
Dipelabuhan tambatan hati

Layar hati telah mengembang
Dipelabuhan dambaan lain
Kehakikian cinta kurengkuh
Merapat didermaga hati
PENGGUSURAN DAN SEBABNYA

Entah berapa banyak masyarakat Indonesia dan negara – negara lain didunia ini yang kehilangan tempat tinggal dan sumber penghasilan, akibat dari penggusuran. Dan entah berapa banyak lagi yang terancam akan digusur, serta sampai kapan penggususran menghantui penduduk bumi.

Diberbagai media massa, banyak menghadirkan konflik masyarakat tergusur dengan pihak – pihak yang menggusur dan tak jarang merenggut korban nyawa. Disinyalir penyebab utama penggusuran besar-besaran ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya seperti :

Meningkatnya urbanisasi: pemukiman informal diperbolehkan hadir di kota-kota berdasarkan kesepakatan saling membutuhkan. Namun, ketika laju urbanisasi kian cepat dan semakin banyak orang dan investasi mengalir ke kota-kota, pemukiman informal tidak lagi dapat diterima karena dunia formal semakin menguasai ruang yang mereka duduki untuk pembangunan. Penguasaan lahan untuk pembangunan ini kian menjadi-jadi, hingga penggusuran terjadi sedikit demi sedikit. Penggusuran mencapai puncaknya ketika muncul globalisasi, spekulasi dan adanya modal keuangan internasional yang tidak terbatas, dan akibatnya, pertentangan antara sektor formal dan informal kian meruncing.

Mega Proyek (Pembangunan) infrastuktur yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor pembangunan internasional atau kerjasama antara pengusaha lokal dan perusahaan internasional menyebabkan maraknya penggusuran di Asia. Proyek-proyek itu terus berjalan, meski sebagian besar proyek ini tidak digagas secara matang, digelembungkan nilai kontraknya (mark up), dan tidak terlalu berguna untuk masyarakat, kelompok masyarakat (LSM) dan warga negara yang akan menanggung biayanya.

Politisasi Tanah: kongkalingkong antara kontraktor/pengembang, birokrat, dan politisi tengah berusaha menyingkirkan orang-orang miskin dari lokasi yang bernilai tinggi, acapkali disertai dengan pelanggaran prosedur dan hukum. Di tempat itu biasanya akan dibangun perumahan mewah atau lahan komersial lainnya. Kongkalingkong ini juga sering memanipulasi berbagai rancangan proyek pembangunan yang akan menyebabkan penggusuran, sehingga memudahkan penggunaan lahan sesuai tujuan mereka. Pihak pengembang mendanai partai politik dan kandidat-kandidatnya untuk pemilu tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, dan dengan demikian memberi ruang pada mereka untuk mempengaruhi lorong-lorong kekuasaan. Para politisi memanipulasi sejarah tanah, menguasai tanah yang menjadi sengketa, mempengaruhi dan mengotak-atik perencanaan kota yang dirasa bertentangan dengan kepentingan mereka.

Tidak adanya hukum yang melindungi masyarakat dan menjamin hak bertempat tinggal atau kurangnya aturan tentang prosedur penerapan hukum itu di sebagian besar negara Asia. Meski hukum yang baik itu ada, pelanggaran terhadap hukum itu tetap ditolerir karena senjangnya hubungan kekuasaan yang dibangun oleh komunitas miskin dengan lobi-lobi politik yang dibangun oleh tiga sekawan: pengembang-birokrat-politikus.



ISLAM KUTAI DAN PERSINGGUNGAN POLITIK
(Dikutip sepenuhnya dari Buletin SAPULIDI, PMII Komisariat STAIN Samarinda)

Belakangan ini, sebenarnya sejak berlakunya otonomi daerah, suara – suara menuntut formalisasi syariat atau pemberlakuan budaya tertentu sebagai identitas daerah, begitu nyaring terdengar. Tak terkecuali beberapa daerah di Kalimantan Timur, yang mengaitkan diri sebagai pewaris pusat penyebaran islam Nusantara. Banyak orang sekedar jatuh dalam kubu – kubuan; pro kontra atau setuju – tak setuju. Tetapi tidak sedikit orang yang mau melihat kompleksitas persoalan.

Pertumbuhan Awal
Kita tak mungkin melupakan sejarah. Daerah – daerah yang kini meliputi Kutai kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Samarinda, Balikpapan, dan Bontang adalah warisan dari dua kekuasaan kerajaan besar. Kutai Martadipura yang diperintah oleh Mulawarman dan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa sakti (1300 – 1325).
Tercatat ajaran Islam baru dikenal diwilayah ini berkat jasa dua ulama besar : Syekh Abdul Qadir khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tuanku Tunggang parangan. Keduanya datang ke jaitan layar, ibu kota Kutai Kartanegara saat itu, sekarang Kutai Lama, setelah mengislamkan Gowa _ Tallo. Tak beberapa lama, sekitar akhir 1605, raja dan rakyat Kutai menjadi pemeluk agama islam.
Diakui strategi dakwah dua ulama besar ini memang jitu.yakni mendekati raja atau penguasa setempat terlebih dulu untuk meyakini kebenaran atau kebaikan agama baru. Benar, ketika Raja Mahkota (1565 – 1605) memasuki agama islam, serentak para pembesar kerajaan dan rakyat mengikuti jejak raja. Islam menjadi agama negara dan nafas sistem pemerintahan, dan sejak itu mulailah era baru pengembangan islam. Islam diwartakan lewat pendekatan kekuasaan.
Setelah Aji Dilanggar yang menggantikan ayahandanya wafat, ia segera digantikan puteranya, Aji pangeran Sinum Panji Mendapa. Dibawah pemerintahan raja inilah,perluasan dakwah islam semakin cepat. Kerajaan Kutai Martadipura adalah negara tetangga yang diliriknya.
Lantaran kerajaan yang berkedudukan di Muara Kaman ini menolak mentah – mentah ajakan masuk islam. Maka pecahlah perang dahsyat yang akhirnya dimenangi oleh penguasa kutai Kartanegara. Setelah itu kerajaan kutai dirubah namanya menjadi kerajaan Ing Martadipura dan rajanya bergelar Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura. Pada masa ini, islam mulai menyebar di sepanjang Sungai Mahakam dan beberapa wilayah yang dewasa ini berada dalam kotamadya Samarinda.



Persinggungan agama dan politik
Diwilayah Kalimantan Timur dakwah islam berlangsung penuh ketegangan. Cerita tentang Islamisasi melalui penguasaan struktur politik juga berlangsung di sulawesi Selatan pada awal abad ke-17. raj Tallo memeluk islam dengan gelar Sultan Abdullah Awwalul islam, dan disusul kemudian Raja Gowa yang setelah masuk islam bergelar Sultan Alauddin.
Dibawah dua penguasa politik ini, Islam bukan hanya didengung – dengungkan dengan gegap gempita melalui corong pusat – pusat kekuasaan politik formal, penuh tekanan dan paksaan didaerah kekuasaan Gowa – Tallo. Tapi juga diwilayah beberapa kerajaan tetangganya. Sebagian memang berhasil diislamkan dengan mulus, tapi tak sedikit raja-raja yang enggan meninggalkan keyakinan lamanya. Sejarah lalu mencatat perang yang berkobar hebat antara aliansi tiga kerajaan bone, Wajo dan Soppeng yang bersatu padu melawan Gowa – Tallo. Meskipun banyak sejarawan yang cenderung meyakini motif politik ketimbang agama dibalik pertumpahan yang mengerikan itu.
Agama dan politik yang bersifat duniawiah itu rupanya memang sulit dipisahkan, manakala keduanya erat bersinggungan. Ajaran agama yang mulanya mewartakan kedamaian, tiba – tiba tumbuh menjadi sosok yang menakutkan ketika bersentuhan dengan kekuasaan. Ditangan para elit politik, kadang yang profan dan duniawi begitu mudahnya dibungkus baju kesakralan dan kesucian. Anehnya diseberang sana, mereka “yang lain”, yang “berbeda” dari keyakinan penguasa lantas dipandang musuh, lawan yang musti disingkirkan ………………

Mahkamah Islam
Dalam perkembangannya, entah sejak kekuasaan siapa, kehadiran mahkamah islam menjadi salah satu simbol penting “menunggal”-nya kekuasaan sultan sebagai kepala pemerintahan, sekaligus pimpinan keagamaan. Melalui lembaga ini islamisasi bukan hanya digalakkan, tetapisetiap aliran dan paham keagamaan yang berada dalam seluruh lingkup wilayah kerajaan diawasi dan dikontrol. Setiap tempat dan kota ditunjuk penghulu-penghulu sebagai kepanjangan tangan Mahkamah Islam kerajaan. Seperti sangan – Sanga yang terkenal dengan penghulu KH. Mohammad Nasheer.
Suatu peristiwa menarik terjadi pada 1928. Seorang ulama lulusan Al Azhar Mesir, Argub Ishak diadili dan diusir dari Kutai karena mengajarkan paham yang bertentangan dengan paham resmi kerajaan.
Diceritakan Argub ishak selam beberapa hari memberikan ceramah terbatas kepada sejumlah anak muda. Ia mendakwahkan paham baru yang dibawanya dan dalil – dalil yang memperkuat ajarannya. Disadari ajaran yang didawahkannnya berbeda, Ishak lalu dilaporkan ke H. Aji Pangeran sosro Negora, ketua Mahkamah Islam waktu itu (1928 – 1935). Setelah melalui serangkaianinterogasi yang melelahkan, ishak diketahui mengajarkan paham Ahmadiyah. Detik itu pula, Argub Ishak dinyatakan bersalah dan diminta meninggalkan Kutai.
Hal serupa sebenarnya telah terjadi sekitar 1928. seorang ulama Muhamadiyah asal Sanga Sanga yang berjalan memasuki Tenggarong untuk menyiarkan “paham Baru” terpaksa harus gigit jari. Pasalnya, pemerintah kesultanan melalui Mahkamah Islam tak mengizinkan penyebaran paham baru itu demi menjaga ketenangan masyarakat.


“Yang lain” berhak hidup
Rasanya, dua peristiwa diatas cukup memperlihatkan bagaiman sebuah keyakinan bisa diklaim sebagai satu – satunya kebenaran, dengan akibat meniadakan keyakinan yang lain. Melalui kekuasaan, klaim kebenaran bukan hanya direngku tapi juga ditentukan dalam batas – batas mana kebenaran yang dimiliki orang lain berhak hidup dan tumbuh berkembang.
Entah bagaimana ceritanya, dulu tiba – tiba penduduk Kutai bisa terbelah kedalam dua kategori sosiologis: “Kutai” dan “dayak”. Yang pertama diletakkan pad orang yang memeluk islam, sementara yang terakhir ditempelkan bagi mereka yang setia pada tradisi lamanya atau memilih selain islam. Ditambah lagi orang dayak yang kemudian beralih ke islam dikategori “Haloq”. Entah mengapa pula Supinah, sang dukun Balian disebuah dusun di Kutai Kartanegara selalu dibingungkan mengapa “Islam lama” membolehkan praktek balian, sementara “islam baru” mengharamkannya; mengapa gereja yang satu selalu mengusik profesinya sebagai “praktek orang utan” , sedangkan gereja yang lain bersikap tak ambil peduli.
Dan entah bagaimana, tradisi saling-mengambil (sinkretisme) yang menjadi sunnatullah dalam sebuah dialog kebudayaan, hendak dimurnikan dalam identitas yang tunggal. []

16 Oktober, 2008

KUTIPAN

HIDUP HARMONIS DALAM KEMAJEMUKAN AGAMA, SUKU DAN BUDAYA (Sebuah Visi, Ekspektasi dan Kontemplasi Sosiologis)

Oleh :
Sugeng Haryadi Mangku
(disampaikan dalam acara : Diskusi Kebangsaan, STAIN Kalimantan Timur, Juni 2008)



A. Prolog
Bukan Indonesia tanpa Batak, bukan indonesia tanpa Sasak, bukan Indonesia tanpa Jawa, bukan Indonesia tanpa Sunda, bukan Indonesia tanpa Dayak, bukan Indonesia tanpa Kutai, bukan Indonesia tanpa Ambon, bukan Indonesia tanpa Banjar, bukan Indonesia tanpa Buton, bukan Indonesia tanpa Toraja, bukan Indonesia tanpa bali, bukan Indonesia tanpa Manado, bukan Indonesia tanpa Makassar, bukan Indonesia tapa Flores, bukan Indonesia tanpa ………………….

Bukan Indonesia tanpa Islam, bukan Indonesia tanpa Budha, bukan Indonesia tanpa Hindu, bukan Indonesia tanpa Konghucu, bukan Indonesia tanpa Kristen, bukan Indonesia tanpa katholik, bukan Indonesia tanpa Kaharingan, bukan Indonesia tanpa kejawen, bukan Indonesia tanpa Saminisme, bukan Indonesia tanpa ………………… bukan Indonesia tanpa ……………………………………
(Dicuplik dari Pidato Gus Dur, 1999)

Indah, elok dan “touchy’ sekali isi pidato itu sampai sampai saya yang sedang nonton pidato itu di televisi swasta sambil makan kacang goreng harus berhenti mengunyah karena khawatir saya kehilangan rangkaian kata – kata dalam pidato itu. Kalimat pembuka pidato yang memukau walau Gus Dur menurut saya bukan termasuk orator ulung yang pandai menggunakan gaya bahasa yang hiperbolis, intonasi yang fluktuatif dan bahasa tubuh (gesture) yang memukau. Tapi kalimat itu diucapkan dengan gaya bahasa yang biasa, ekspresi wajah yang datar serta bahasa tubuh yang monoton, tapi bagi saya isi pidato itu tetap bagus.

Dalam hati saya berkata “alangkah manisnya jika bisa disimpan dibenak seluruh bangsa Indonesia kemudian dijadikan pedoman berpikir, bertutur dan bertindak dalam keseharian tatkala berinteraksi dimasyarakat”. Pidato itu menjadi “cubitan” bagi bangsa yang belakangan ini menunjukkan gejala menurunnya kualitas toleransi hidup dalam berbangsa dan bernegara. Kelompok pemeluk agama tertentu melarang pemeluk agama lainnya dalam melaksanakan ibadahnya, kelompok suku tertentu “menghabisi” suku lainnya, isu putera daerah menggejala dimana – mana. Padahal faktanya, Indonesia merupakan negara – bangsa yang menghimpun beragam suku, budaya, bahasa, bahkan agama. dalam satu payung negara kesatuan inilah, keragaman itu menemukan tempat berseminya.

Indonesia yang dihuni beragam suku bangsa serta beragam agama menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita. Menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita. Menjadi ujian karena tampaknya keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama kerap menjadi pemicu lahirnya konflik etnis dan agama. sementara menjadi berkah karena kenyataan intu menjadi kekayaan yang patut diselamatkan sehingga kita bisa saling memahami dan menghargai sesama atas dasar kesamaan bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dengan pancasila sebagai ideologi negaranya memang sedang diuji. Indikasi retaknya kebangsaan kita mulai menyembul ke permukaan, misalnya dengan apa yang disebut bangkitnya politik identitas. Menguapnya politik identitas terjadi akibat melunturnya kewibawaan negara dalam mengimplementasikan keinginan warganya. Sehingga yang terjadi, warga negaramengambil inisiatif sendiri karena negara dinilai tidak lagi mampu menampilkan sosoknya sebagai otoritas yang paling berwenang mewujudkan kepentingan warga negaranya.

Fakta membuktikan bahwa, inisiatif warga yang tidak terkontrol pun bisa menjadi semacam ancaman tersendiri bagi keutuhan bangsa ini yang telah melewati masa – masa kemerdekaannya. Ini diperkuat dengan bangkitnya eskalasi komunalisme dan sektarianise yang tampaknya tidak berbanding lurus dengan pemahaman wawasan kebangsaan warganya.

Jiwa nasionalisme bangsa Indonesia benar – benar terancam. Adalah tugas seluruh elemen bangsa ini untuk segera mengambil inisiatif dan berbenah merajut kembali semangat kebangsaan yang mulai koyak sebab jika tidak dilakukan, maka ini menajdi batu sandungan bagi keutuhan bangsa. Menguatnya komunalisme dan sektarianisme akan berdampak pada memudarnya wawasan kebangsaan dengan munculnya apa yang disebut nasionalisme etnisitas.

Pada tangggal 17 Agustus 2008 nanti, usia kemerdekaan Indonesia akan genap 63 tahun, sebuah usia yang bukan muda lagi bisa dikatakan muda tetapi belum juga pantas dikatakan uzur.namun komitmen kebangsaan kembali disoal. Ini terjadi karena ternyata kebangsaan yang menjadi penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi ancaman yang tidak sederhana. Riak – riak gelombang pemisahan diri dari NKRI di berbagai daerah kembali menghantui bangsa ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa ikatan kebangsaan kita sungguh rapuh dan hanya gara – gara DAU (Dana Alokasi Umum) yang merupakan jatah daerah kena pangkas 25% saja orang daerah dengan mudah tanpa merasa salah berseru “kita akan merdeka jika DAU diturunkan” ….” Kita akan pisah dari NKRI jika dana perimbangan pusat tidak ditransparant”…..” kita serbu pusat …..” daerah ini DIHISAP oleh pusat, oleh karena itu mari kita merdeka ….. dsb …. Dsb….miris saya melanjutkan kata – kata sejenis ini.

Kerapuhan ikatan kebangsaan ini kian mengukuhkan bahwa jahitan kebangsaan kita tidak sungguh solid. Nasionalisme menciut digantikan oleh semangat komunalisme dan sektarianisme. Indikasi menguatnya komunalisme dan sektarianisme. Indikasi menguatnya komunalisme dan sektarianisme ini kian tampak dipelbagai daerah yang belakangan kemabli mengagung – agungkan identitas komunalnya.

Gejala disintegrasi nasionalisme itu perlu diwaspadai. Jika tidak, maka NKRI yang menjadi komitmen bersama menghadapi ancaman serius. Oleh karena itu, sudah seharusnya wawasan kebangsaan dipupuk dan ditanamkan pada warga negara agar mereka bisa lebih mencintai tanah airnya. Cara ini sekaligus bisa menangkal ancaman komunalisme dan sektarianisme yang semakin hari semakin mengemuka. Selain itu, pengembangan kehidupan yang berorientasi kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat, harus benar – benar dibuktikan oleh aparatur negara ini. Prinsip ‘tebang pilih’dalam masalah hukum sebagaimana ditengarai banyak kalangan hendaknya tidak terjadi. Law enforcement harus menjadi prinsip, dan mengikat seluruh warga negara tanpa memberi privilege pada sebagian kelompok tertentu.

Semaraknya beragam masalah kebangsaan ini seharusnya segera dicarikan formulasi penyelesaiannya. Ditengah indikasi raibnya identitas keindonesiaan ditambah dengan dangkalnya wawasan kebangsaan, maka upaya untuk menanamkan semangat dan wawasan kebangsaan sudah seharusnya dimulai sejak dini.

Salah satu upaya untuk membentuk rasa kebangsaan adalah lewat jalur pendidikan. Dan pendidikan menjadi sarana efektif untuk menyosialisasikan dan mendalami wawasan kebangsaan. Tetapi lihatlah atmosphere pendidikan kita sekarang ini, sekolah yang seharusnya “sebagai miniatur” indonesia denga segala ragam agama, suku dan budaya dan tempat berinterkasinya murid dalam keperbedaan itu sekarang akan semakin memudar. Yayasan agama tertentu membentuk sekolah sendiri mulai dari playgroup – kinder garten (TK) – SD – SLTP – SMU bahkan sampai perguruan tinggiyang dikhususkan untuk murid – murid pemeluk agama tersebut. Perguruan tinggi di daerah dibuka dengan mudahnya tanpa harus menyeberang laut untuk kuliah. Kalau demikian kondisinya, bisakah lembaga pendidikan menjadi the agent of change, the agent of development, the agent of building nationalism dinegeri ini???

Selain itu, beberapa hal yang patut ditanamkan adalah apresiasi terhadap kearifan lokal (local wisdom), penanaman wawasan kebangsaan, serta penguatan harmoni dan toleransi antara kelompok suku, agama, dan ras yang berbeda. Apresiasi terhadap kearifan lokal itu penting untuk menggali nilai dan semangat yang terkandung dalam nilai budaya yang beragam untuk kemudian diangkat dalam konteks nasional dan kemudian didayagunakan dalam memebentuk karakter masyarakat atau bangsa.

Begitu juga dengan penanaman wawasan kebangsaan. Terbentuknya Indonesia melalui proses yang cukup panjanga, dan dengan mengerti sejarah lahir dan perjalanan bangsa ini, warga negara tidak memiliki kesenjangan dengan sejarah bangsanya sendiri. Karena eksistensi suatu bangsa tidak lepas dari kesinambungan historis dengan masa lalunya. Dengan belajar dari sejarah, kesadaran berbangsa akan menguat sehingga kita berpijak pada realitas kekinian dengan kukuh untuk membangun masa depan yang gemilang.

Disamping itu adalah penguatan toleransi dan harmoni antar beragam entitas budaya, agama, dan suku. Ditengah merebaknya sektarianisme, maka sudah seharusnya masyarakat dibekali dengan pemahaman yang utuh mengenai keragaman entitas bangsa yang terdiri dari beragam agama, budaya dan suku. Bukannya menunggalkan, tapi malah memberikan pengertian bahwa didalam keragaman ini, toleransi dan dialog menjadi semangat yang senatniasa dikedepankan. Dengan upaya ini, lunturnya wawasan kebangsaan yang mulai tampak akhir – akhir ini terselamatkan.
B. Hidup harmonis dalam pluralistik
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : “ In the socil sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation”. Atau dalam bahasa indonesia : “suatu kerangaka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan)”.

Polemik

Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti : pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultur pluralisme digunakan sebagai alsan pencampuran antar ajaran agama pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.

Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralisme sebagaimana pengertian dalam bahasa inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya rekasi dari berbagai pihak. Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.

Catatan

Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanyan kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamnay sja yang benar sedangkan yang lain salah. Plurlisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan disurga”. Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama islam.

Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism – non asimilasi, hal ini di-salah-pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara disisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.

Kristalisai polemik

Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung sering kali melapisi aroma debat.
C. Film dan Novel Ayat Ayat Cinta (sebuah pelajaran yang bagus)

Pada tahun 2005 seorang teman memberikan saya buku judulnya Ayat ayat cinta, pertama kali saya lihat judulnyalangsung dugaan saya :ini pasti buku jawaban atas bukunya Salman Rusdi yang heboh itu yang berjudul Ayat ayat Setan (satanic verses). Sambil iseng saya baca novel itu ternyata beda dan bukan merupakan “jawaban” atas novelnya Salam Rusdi. Buku (novel) ayat ayat Cinta karangan habiburahman El Shirazy yang kemudian difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo dengan jduul yang sama itu menyedot animo sangat besar dari masyarakat. Buku yang sejak diterbitkan pertama kali pada akhir tahun 2004 itu menjadi best seller sampai detik ini. Sementara filmnya sampai bulan Juli minggu ke-3 sudah ditonton 3,5 juta orang yang merupakan rekor untuk ukuran film nasional. Saya tidak bermaksud meresensi buku maupun film itu, apalagi mempromosikannya. Saya hanya mengajak untuk mengambil pesan yang disampaikan didalamnya.

Salah satu kekuatan Ayat Ayat Cinta adalah tentang indahnya toleransiyang diperlihatkan para tokohnya, meskipun berbeda agama dan bangsa. Ketaatan menjalankan agama masing – masing justru menjadi perekat berinteraksi, saling toleran dan menghormati antar sesama. Itulah pesan yang terkandung dalam Ayat Ayat Cinta untuk kita teladani danterapkan dalam kehidupan yang sesungguhnya.

Dikisahkan, Fahri adalah seorang pemuda Jawa yang saleh dan taat menjalankan agama ( Islam) yang sedang menimba ilmu di Univesitas Al Azhar mesir. Tinggal bersama beberapa temannya yang juga dari Indonesia disebuah Flat (semacam rumah susun) di kota Cairo. Di flat itu mereka bertetangga dengan keluarga Maria yang asli Mesir dan menganut kristen. Didalam Ayat Ayat Cinta, interksi antara Fahri cs dengan keluarga maria yang berbeda bangsa dan agama itu digambarkan dengan sangat memikat.

Seperti pada waktu fahri memebri hadiah untuk keluarga Maria pada hari istimewa mereka, atau ketika fahri dirawat dirumah sakit keluarga Marialah yang banyak mengulurkan bantuan. Juga diceritakan bagaimana sikap fahri ketika mengetahui atap flatnya kebocoran air yang berasal dari kamar mandi keluarga Maria (flat Fahri ada di bawah keluarga keluarga maria yang berarti atap flat Fahri adalah lantai keluarga Maria), fahri lebih memilih diam dan menampung rembesan air itu dengan sebuah ember agar tidak merepotkan dan menyakiti tetangga, demi mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ‘siapa yang beriman keapada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya’. Sampai membuat keluarga Maria terharu. Ada juga sebuah momen ketika Fahri dan Maria bahu membahu menyelamatkan seorang gadis Mesir yang hendak dilacurkan ayah pungutnya. Fahri terbebas dari penjara karena difitnah pun berkat andil keluarga Maria.

Dikisahkan juga Fahri sempat menolong wartawati asal Amerika Serikat yang menjadi bulan bulanan orang orang didalam kereta api, semata karena fahri memegang prinsip bahwa ahlu dzimmah (non muslim yang hidup damai di negeri kaum muslim) harus dilindungi sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW yang lainnya, ‘barangsiapa yang menyakiti Dzimmi maka dia menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah’

Menurut penulis Ayat ayat cinta sendiri (Habiburahman), harmonisasi antar umat beragama yang terjadi di Mesir itu bukan imajinasi belaka, melainkan berdasarkan kenyataan yang benar – benar terjadi. Dan Indonesia pun, sebenarnya sudah cukup berpengalaman dalam hal toleransi antar umat beragama sejak berabad – abad silam sebagaimana digambarkan Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Sangat sedikit negara didunia yang dapat bertahan dalam kemajemukan seperti Indonesia. Yugoslavia dan Uni Soviet adalah segelintir contoh negara yang gagal mengemas segala perbedaan dalam tubuhnya sehingga kedua negara itu kini terhapus dari peta dunia.

Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa pernah terjadi “gesekan” bernuansa SARA yang cukup meresahkan, seperti di Poso, Sampit ataupunAmbon beberapa tahun yang lalu. Berkat kerja keras semua pihak, daerah – daerah tersebut sekarang sudah berangsur – angsur damai. Tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi lagi, kecuali mereka yang tidak waras atau berniat buruk pada kesatuan negeri ini. Ngeri rasanya membayangkan Indonesia bernasib seperti Yugoslavia ataupun uni Soviet.

Demikianlah, ketaatan dan pengetahuan yang paripurna pada ajaran agama sesungguhnya tidak akan membuat orang intoleran dan merasa benar sendiri. Fahri dan Maria telah mencontohkan dalam Ayat – Ayat Cinta. Saya yakin, masih banyak orang – orang seperti (atau yang ingin seperti) Fahri dan Maria di dunia ini. Sangat benar bahwa fanatisme agama yang menjurus pada tindakan destruktif – terlebih teror – bukan berasal dari ajaran agama apapun, minimal merupakan interpretasi yang keliru dan tak lebih dari memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok yang mencatut nama agama. Agama yang disampaikan dengan kekerasan tidak akan mendapatkan simpati, justru akan membuat orang lari dari agama. Dengan mendalami agama masing – masing dan menjalankan sesuai syariatnya justru membuat kita lebih bijak dalam mengarungi hidup yang penuh perbedaan ini. Dan membina kehidupan yang sebaik – baiknya kepada semua manusia – sekali lagi meskipun berbeda – beda agama, keyakinan, ras, suku, bangsa, (ataupun partai politik) adalah kebaikan yang terbaik dalam hidup.





REFERENSI

Ahmad Fawaid Sjadzili, 2006, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU)

Russell T. Williams, 2006, Passkeys – Jefferson Center for Character Education – USA

El Shirazy, Habiburrahman, 2004, Ayat Ayat Cinta

PENDIDIKAN PUBLIK

JANGAN PILIH POLITIKUS BUSUK (POLBUS)

PEMILU LEGISLATIF (DPR) DAN EKSEKUTIF (PRESIDEN) 2009 SEMAKIN DEKAT, SAATNYA MASYARAKAT PEMILIH UNTUK LEBIH SELEKTIF DALAM MENENTUKAN PEMIMPIN. PEMILU YANG SUDAH DILAKUKAN BERULANG – ULANG BELUM MENUJUKKAN TANDA – TANDA AKAN MEMBERI KEHIDUPAN YANG LAYAK KEPADA MASYARAKAT PEMILIH. KENAIKAN HARGA BBM, MENINGKATNYA ANGKA KEMISKINAN, BURUKNYA KUALITAS PENDIDIKAN, TINDAKAN ASUSILA SERTA KORUPSI YANG MERAJALELA, CERMINAN PEMIMPIN YANG TELAH DIPILIH OLEH MASYARAKAT. PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PEMILU DENGAN HARAPAN MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK HARUS KANDAS DENGAN ULAH PARA POLITISI BUSUK YANG TIDAK MEMENTINGKAN HAK RAKYAT.
SAATNYA MASYARAKAT PEMILIH UNTUK MENENTUKAN PILIHAN KEPADA POLITISI YANG BERKREDIBILITAS, DAN BERINTEGRITAS SERTA MEMILIKI KOMITMEN KUAT TERHADAP HAK – HAK MASYARAKAT PEMILIH. JANGAN TERMAKAN OLEH JANJI PALSU POLITISI BUSUK YANG MENGUMBAR JANJI PALSU UNTUK MEMBERIKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT.
GUNAKAN HAK PILIH ANDA DENGAN TEPAT DAN TIDAK MEMILIH POLITISI BUSUK YANG PERNAH MENGHIANATI AMANAT RAKYAT.

KRITERIA POLITIKUS BUSUK :

1. POLITIKUS YANG KORUP, BOROS DAN SERAKAH
2. POLITIKUS YANG MELAKUKAN DAN MELINDUNGI PERUSAKAN ALAM/LINGKUNGAN
3. POLITIKUS YANG MELANGGAR DAN MELINDUNGI PELANGGARAN HAM (HAK ASASI MANUSIA)
4. POLITIKUS YANG MELAKUKAN JUAL BELI HUKUM
5. POLITIKUS PENIKMAT/PEBISNIS SERTA YANG MELINDUNGI PELAKU NARKOBA
6. POLITIKUS YANG BERBUAT ASUSILA DAN CABUL
7. POLITIKUS YANG MENGGUSUR/TINDAKAN TIDAK MELINDUNGI HAK EKONOMI, SOSIAL KAUM PETANI, BURUH DAN RAKYAT MISKIN KOTA
8. POLITIKUS PELAKU KEKERASAN RUMAH TANGGA DAN DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
9. POLITIKUS PENIKMAT UANG NEGARA
10. POLITIKUS YANG MEMPERKAYA DIRI SENDIRI
11. POLITIKUS YANG PEMBOHONG SERTA BERJANJI PALSU

TUNTUTAN KEPADA POLITIKUS :

1. ELIT POLITIK DAN PARTAI POLITIK SEGERA MEMBENAHI MEKANISME REKRUTMEN INTERNAL
2. MENGHILANGKAN PRAKTEK “DAGANG SAPI” DAN MENCALONKAN KADER – KADER YANG BERINTEGRITAS
3. ELIT POLITIK DAN PARTAI POLITIK SEGERA MEMPROSES DENGAN TEGAS KADER – KADERNYA YANG DIDUGA BERMASALAH DAN BUSUK.
4. SERTA MENJALANKAN MEKANISME INTERNAL PARPOL DAN MENDUKUNG PROSES HUKUM PADA KADER YANG BERMASALAH

HIMBAUAN KEPADA MASYARAKAT PEMILIH :

1. MEMBERI SANKSI DENGAN TIDAK MEMILIH, MENDUKUNG, MENDANAI DAN MEMILIHNYA DALAM PEMILU 2009
2. SEBELUM MEMILIH TELITI DENGAN SEKSAMA SELUK BELUK DAN SEPAK TERJANG SEMUA POLITIKUS YANG BERTARUNG DALAM PEMILU

KISAH

MENGENANG KEMBALI KISAH SMA – KU

5 TAHUN KELULUSAN DARI SEKOLAH KAMI DI BALIKPAPAN, NAMUN TEMAN – TEMAN DAN KISAH BERSAMA SEBAGIAN MASIH TEREKAM DIBENAKKU. DI 5 TAHUN SEJAK KELULUSAN KAMI, SAYA INGIN MENYAPA TEMAN – TEMAN SAYA DI BALIKPAPAN WALAUPUN SEBAGIAN DARI MEREKA SEKARANG ADA YANG TIDAK MENETAP DI BALIKPAPAN LAGI. SEMOGA DIANTARA KALIAN ADA YANG MEMBUKA BLOG SAYA INI :

SAYA SAMPAIKAN SALAM UNTUK SAHABAT SAYA YANG TELAH MEMPERTAHANKAN PERSAHABATAN HINGGA 8 TAHUN LEBIH DAN SEMOGA TAK PERNAH BERUBAH SAMPAI KAPAN PUN. KEPADA : ANTO, PARMAN, RAHMAT DAN YONGKI. SEJAK SEKELAS SAMPAI LULUS MESKI HARUS PISAH KELAS KALIAN TETAP TEMAN YANG SALING MEMBANTU MUNGKIN SEMASA KITA SEKOLAH TAK AKAN PERNAH TERULANG KEMBALI, NAMUN KALIAN TELAH MENJADI SAHABAT YANG TAK TERLUPAKAN SAMPAI SEKARANG. SUDAH LAMA KITA TIDAK BERKUMPUL SECARA UTUH 5 SEKAWAN. ENTAH KAPAN KITA BISA MAKAN BAKSO DAN MINUM ES CAMPUR DI BLAURAN (WARUNG TEPI PANTAI PASAR KLANDASAN), ATAU NGELUYUR DAN SHOPPING DI KLANDASAN DAN SHOPING CENTRE BALIKPAPAN, ATAU BARENGAN KE PARTY TEMAN – TEMAN YANG LAGI ULTAH DAN BELI KADO BARENG. SUDAH LAMA NIH AKU GAK MAKAN MASAKAN MADURA DI RUMAH PARMAN ATAU MINUM TEH HANGAT BUATAN IBUNYA. KAPAN LAGI AKU MINUM KOPI TUBRUK BUATAN ANTO AND MAKAN BUAH – BUAHAN YANG BANYAK, KAPAN JUGA AKU MAKAN – MAKAN DIRUMAH RAHMAT ATAU MENIKMATI KUACI DAN MINTA ANGPAO DARI YONGKI SAAT IMLEK TIBA. ATAU NGERJAKAN PR BARENG DIRUMAHKU.

APA KABAR LINA, LINDA, EMI, FATMA, AMAN, MELI, VINA, HELDA, MALIK, EKA DIAH, EKA SASMITA, ATUL (HENI), IMAH, NURI MARDIANA (FANG – FANG), NUNUK, ASTI, HILDA, DAN LAIN – LAIN. SEMOGA KALIAN TELAH MENJADI ORANG – ORANG SUKSES.

APA KABAR JUGA UNTUK TEMANKU YANG USIL, CENTIL, BAWEL, GOKIL DAN SUPER LUCU. ALI IMRON YANG SUPER BERSIH, MARYATI YANG CEREWET AND RIBUT TAPI NGANGENI, YAHNI YANG BANDEL TAPI AKU SENANG IKUTAN BANDEL (MAIN VOLI RAME – RAME SAAT GURU GAK ADA DI KLEAS, AND KABUR SAAT GURU). MARYATI AND YUNI YANG BAWEL, GANK, ANAK BAND TAPI TEMAN OK BANGET GAK BIKIN STRESS. FENTI ………., BUAT ENDANG (KOLEKTOR KASET AA’ GYM, KAPAN AKU DIPINJAMI LAGI KASETNYA ?) SALAM BUAT DEDI, HENDI, MALIK, UMAR, ARIS ,UYE, JAMAL, FIRMAN, ADI, DLL.

SALAM BUAT TEMAN – TEMAN KU TEAM CAMPING PERPISAHAN DI KM 10. APA KABAR SEMUA, KALIAN TEMAN – TEMAN PEMBERANI DAN PETUALANG. NURUL YANG TOMBOI KATANYA SEKARANG SANGAT MUSLIMAH (SALUT U KAMU), ONENG YANG LUCU, MIRWANA, HASNI, MARYATI, YUNI, MARYATI, KRIS, UYE, UMAR, DLL.

GADIS – GADIS YANG PERNAH MENCINTAIKU, UNTUK A…… MAAF AKU BUKAN TIDAK SUKA DAN INGIN MENYAKITI HATIMU, TAPI AKU TIDAK BISA BERSAMAMU. UNTUK T………. TERIMA KASIH SUDAH MAU JUJUR PADAKU TENTANG PERASAANMU, SUDAH MEMPERHATIKAN AKU. SPECIAL UNTUK GADIS CANTIK YANG AKU CINTAI F…A…… SAMPAI SAAT INI KAMU MASIH ADA DIHATIKU.

AKU MENGINGAT KALIAN KEMBALI SAAT MENGENANG 5 TAHUN KELULUSAN KITA, MAAF KALAU ADA YANG TERLUPA. KALIAN SEMUA TEMAN YANG BAIK. REUNIAN KAPAN YA ?

OPINI 1

“BUAH PEDAS” PENOPANG HIDUP YANG SEMAKIN “PEDAS”

KEKAYAAN INDONESIA DENGAN REMPAH – REMPAH MEMANG MENJADIKAN NEGERI INI TERJAJAH SELAMA RATUSAN TAHUN SILAM OLEH BERBAGAI NEGARA DARI BELAHAN DUNIA EROPA. HAL INI DIKARENAKAN BEGITU PENTINGNYA REMPAH – REMPAH BAGI KEBUTUHAN HIDUP SEHARI – HARI. REMPAH – REMPAH SELALU MENJADI PELENGKAP YANG MAMPU MEMBUAT HIDANGAN MENJADI BERCITA RASA TINGGI DAN MEMBUAT SELERA MAKAN BERTAMBAH. SELAIN ITU PULA, HARGA KOMIDITAS INI JUGA RELATIF MAHAL DIPASAR INTERNASIONAL. SEHINGGA BANYAK DICARI OLEH PENDUDUK DIBERBAGAI BELAHAN DUNIA.

SALAH SATU DARI REMPAH – REMPAH TERSEBUT ADALAH LADA ATAU DENGAN NAMA LOKAL DIBERBAGAI DAERAH DENGAN SEBUTAN MARICA, SAHANG DAN LAIN – LAIN. BUAH PEDAS INI MENJADI SEBUAH TANAMAN PERKEBUNAN YANG BANYAK DITANAM DI DI KALIMANTAN TIMUR, SEPANJANG JALAN NEGARA SUKARNO HATA ANTARA KOTA MADYA BALIKPAPAN DAN KOTA MADYA SAMARINDA. BANYAK MASYARAKAT MENGGANTUNGKAN HIDUP DENGAN BERCOCOK TANAM BUAH YANG MEMBERI RASA PEDAS PADA MAKANAN INI. WILAYAH YANG BANYAK DITANAM DISEKITAR KECAMATAN SAMBOJA DAN LOA JANAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, YANG TERLETAK PERSIS DI JALAN ANTARA BALIKPAPAN – SAMARINDA. WILAYAH INI MERUPAKAN MASYARAKAT PENGHASIL LADA YANG TELAH MENGGANTUNGKAN HIDUP DARI HASIL PERKEBUNAN LADA, DAN INI TELAH TERJADI SEKITAR BERPULUH BAHKAN HINGGA RATUSAN TAHUN SILAM.

TANAMAN MERAMBAT INI TELAH DIGELUTI SECARA TURUN TEMURUN OLEH MASYARAKAT DIKAWASAN INI (SAMBOJA - LOA JANAN), MEREKA SEBAGIAN BESAR TERDIRI DARI MASYARAKAT PENDATANG YANG DIDOMINASI OLEH ORANG – ORANG BUGIS YANG MERANTAU ADA YANG SUDAH BERMUKIM SEJAK RATUSAN TAHUN SILAM ATAUPUN MEREKA YANG BERMUKIM BEBERAPA PULUH TAHUN SILAM. BERCOCOK TANAM LADA TIDAK PERLU KETERAMPILAN KHUSUS DENGAN MELIBATKAN PELATIHAN DARI PEMERINTAH, HAL INI MEREKA LAKUKAN DENGAN MODAL PENGALAMAN DARI KELUARGA/ORANG TUA SERTA PENGALAMAN YANG DIDAPAT DARI MELIHAT MASYARAKAT DISEKITARNYA. DAN MODAL PUN SEADANYA TANPA MEMINTA BANTUAN PEMERINTAH DALAM HAL PENDANAAN DALAM MEMBUKA PERKEBUNAN INI.

PENDUDUK RATA – RATA MEMILIKI 500 – 5000 POHON LADA YANG DIRAMBATKAN PADA SEBATANG TONGGAK YANG TERBUAT DARI KAYU ULIN (TURUS). POHON LADA MULAI BERBUAH SEJAK BERUMUR KIRA KIRA 2 TAHUN, DAN DAPAT BERTAHAN HIDUP HINGGA KIRA – KIRA 20 TAHUN. SELAIN ITU PERAWATANNYA PUN SANGAT MUDAH, HANYA PERLU PERAWATAN SAAT BERUMUR MUDA, YAITU MEMBANTU PENENMPELAN POHON PADA TURUS DENGAN MENGIKATNYA DENGAN TALI. HAL INI UNTUK MENUNTUN PERTUMBUHAN POHON PADA TURUS UNTUK MENJALAR. SELAIN ITU PEMBERSIHAN LAHAN DAN PEMUPUKAN YANG RUTIN. BIBIT TANAMAN DIAMBIL DARI POTONGAN POHON LADA YANG BELUM BERBUAH DENGAN MELIHAT KUALITAS AKAR YANG BAGUS. BIASANYA AKAR YANG MENEMPEL PADA TURUS. PEMOTONGAN DILAKUKAN DUA KALI SEBELUM BERBUAH DENGAN JARAK WAKTU YANG DISESUAIKAN DENGAN KESUBURAN POHON. DAN SEBAIKNYA PEMOTNGAN BIBIT DILAKUKAN PADA MUSIM HUJAN, AGAR PERTUMBUHAN BIBIT LEBIH BAIK. BIBIT INI KEMUDIAN DITANAM, BISA MELALUI PENYEMAIAN TERLEBIH DAHULU HINGGA TUMBUH AKAR MAUPUN LANGSUNG DITANAM PADA TURUS YANG TELAH DISIAPKAN.

HASIL PANEN LADA PERTAHUN SETIAP KELUARGA DI KELURAHAN SAMBOJA DAN LOA JANAN SETIAP 1000 POHON MENGHASILKAN SEKITAR 1000 KG/TAHUN, DENGAN FREKUENSI PANEN 2 KALI SEBULAN. PROSES PEMETIKAN LADA HINGGA MENJADI LADA SIAP JUAL SEKITAR 10 HARI, YAITU PERENDAMAN SELAMA 7-10 HARI PERENDAMAN KEMUDIAN DICUCI UNTUK MENGHILANGKAN KULIT YANG TELAH TERKELUPAS KEMUDIAN TAHAP PENJEMURAN SELAMA 1-2 HARI TERGANTUNG CUACA. BILA LADA TIDAK MENEMPEL KETIKA DIGENGGAM, BERARTI LADA TERSEBUT SUDAH CUKUP KERING. MUSIM PANEN LADA DALAM SETAHUN BIASANYA BERKISAR ANTARA AGUSTUS – DESEMBER KEMUDIAN BULAN JANUARI – JULI MERUPAKAN MUSIM TUMBUHNYA BUNGA HINGGA PERKEMBANGAN BUAH HINGGA SIAP PANEN.

HARGA LADA DIPASARAN LOKAL SAAT INI MASIH DITENTUKAN OLEH TENGKULAK/PENGUMPUL YANG BERASAL DARI PENDUDUK SETEMPAT KEMUDIAN DIJUAL KEPADA AGEN. SEHINGGA HARGA PUN TERKESAN MASIH DIPERMAINKAN OLEH MEREKA. KETIKA MENJELANG LEBARAN ATAU SAAT PANEN SEBANYAK HARGA LADA SERING KALI TURUN. KETIKA MUSIM KEMARAU BERKEPANJANGAN DAN KRISIS MONETER PADA TAHUN 1997 HARGA LADA PERNAH MENYENTUH HARGA Rp. 100.000,-/KG. NAMUN PRODUKSI PETANI SAAT ITU SANAGAT MINIM, KARENA FAKTOR MUSIM KEMARAU.

NAMUN LADA YANG PEDAS MERUPAKAN SUMBER PENGHASILAN YANG MAMPU MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP MASYARAKAT. SEMAKIN MAHALNYA HARGA KEBUTUHAN POKOK, PESTISIDA, HERBISIDA, PUPUK TETAP MEMBERIKAN SEBUAH HARAPAN UNTUK MENGHADAPI HIDUP YANG “PEDAS”. MESKIPUN DEMIKIAN BEBAN HIDUP TERKADANG SULIT DIHADAPI KETIKA SEDANG MUSIM TIDAK PANEN LADA. NAMUN KEMANDIRIAN MEREKA DAN KEULETAN PETANI LADA DIWILAYAH INI, PATUT MENJADI SEBUAH CONTOH MASYARAKAT MANDIRI MESKIPUN HANYA DAPAT DIKETAHUI SEBAGIAN ORANG.

MUNGKIN YANG MEREKA BUTUHKAN BUKAN BANTUAN LANGSUNG, TETAPI YANG PERLU MENJADI PERHATIAN PEMERINTAH DAN ORANG YANG BERSIMPATI. AGAR HARGA KEBUTUHAN PERTANIAN DAPAT LEBIH TERJANGKAU DAN KEBIJAKAN MENGENAI HARGA PASARAN LADA YANG SESUAI DENGAN HARGA PASAR YANG SEMESTINYA. SERTA KEMAUAN DARI BERBAGAI PIHAK UNTUK MENUMBUHKAN PERTANIAN BERBASIS INDUSTRI KECIL BUAH LADA AGAR TUMBUH PRODUK BARU YANG DAPAT DIPASARKAN DARI BIJI LADA DIKAWASAN INI. SELAIN ITU MENDAYA GUNAKAN PEMUDA/I SETEMPAT UNTUK TETAP IKUT SERTA DALAM INDUSTRI KECIL.

PUISI 8

Korupsiphoria

Pejabat sedang gandrung
Gandrung dengan mode yang sedang ngetrend
mode korupsi yang menjadi buah bibir
dari pejabat tinggi hingga terbawah

korupsiphoria melanda negeri ini
mengangkat popularitas pejabat
untuk tampil sebagai sosok idola
idola dimata hukum

korupsiphoria kini naik daun
meski warisan sejak ratusan tahun silam
namun popularitasnya merangkak saat ini
dengan performance yang fenomenal

korupsiphoria mengorbitkan
aktor/aktris penjahat uang negara
menjadi bintang yang siap beraksi
dengan skenario pembelaan

PUISI 7

Wajah – wajah Pemimpin

Kau tampak dekil dan kotor
Dibalik jas safari yang rapi
Karena kebijakan kotor
Yang menindas rakyat

Kau bak derakula penghisap darah
Yang duduk manis dikursi kekuasaanmu
yang menghisap hak orang kecil
Dengan kekuasaan di tanganmu

Kau bak kolonial
Menjajah kebebasan dan kesempatan
Anak – anak bangsa
Untuk mengenyam pendidikan murah dan layak

Kau orang sinting
Yang senang dengan kekayaan
Namun juga senang melihat orang kecil semakin miskin
Sebab kau tak berpihak kepada kaum miskin