16 Oktober, 2008

KUTIPAN

HIDUP HARMONIS DALAM KEMAJEMUKAN AGAMA, SUKU DAN BUDAYA (Sebuah Visi, Ekspektasi dan Kontemplasi Sosiologis)

Oleh :
Sugeng Haryadi Mangku
(disampaikan dalam acara : Diskusi Kebangsaan, STAIN Kalimantan Timur, Juni 2008)



A. Prolog
Bukan Indonesia tanpa Batak, bukan indonesia tanpa Sasak, bukan Indonesia tanpa Jawa, bukan Indonesia tanpa Sunda, bukan Indonesia tanpa Dayak, bukan Indonesia tanpa Kutai, bukan Indonesia tanpa Ambon, bukan Indonesia tanpa Banjar, bukan Indonesia tanpa Buton, bukan Indonesia tanpa Toraja, bukan Indonesia tanpa bali, bukan Indonesia tanpa Manado, bukan Indonesia tanpa Makassar, bukan Indonesia tapa Flores, bukan Indonesia tanpa ………………….

Bukan Indonesia tanpa Islam, bukan Indonesia tanpa Budha, bukan Indonesia tanpa Hindu, bukan Indonesia tanpa Konghucu, bukan Indonesia tanpa Kristen, bukan Indonesia tanpa katholik, bukan Indonesia tanpa Kaharingan, bukan Indonesia tanpa kejawen, bukan Indonesia tanpa Saminisme, bukan Indonesia tanpa ………………… bukan Indonesia tanpa ……………………………………
(Dicuplik dari Pidato Gus Dur, 1999)

Indah, elok dan “touchy’ sekali isi pidato itu sampai sampai saya yang sedang nonton pidato itu di televisi swasta sambil makan kacang goreng harus berhenti mengunyah karena khawatir saya kehilangan rangkaian kata – kata dalam pidato itu. Kalimat pembuka pidato yang memukau walau Gus Dur menurut saya bukan termasuk orator ulung yang pandai menggunakan gaya bahasa yang hiperbolis, intonasi yang fluktuatif dan bahasa tubuh (gesture) yang memukau. Tapi kalimat itu diucapkan dengan gaya bahasa yang biasa, ekspresi wajah yang datar serta bahasa tubuh yang monoton, tapi bagi saya isi pidato itu tetap bagus.

Dalam hati saya berkata “alangkah manisnya jika bisa disimpan dibenak seluruh bangsa Indonesia kemudian dijadikan pedoman berpikir, bertutur dan bertindak dalam keseharian tatkala berinteraksi dimasyarakat”. Pidato itu menjadi “cubitan” bagi bangsa yang belakangan ini menunjukkan gejala menurunnya kualitas toleransi hidup dalam berbangsa dan bernegara. Kelompok pemeluk agama tertentu melarang pemeluk agama lainnya dalam melaksanakan ibadahnya, kelompok suku tertentu “menghabisi” suku lainnya, isu putera daerah menggejala dimana – mana. Padahal faktanya, Indonesia merupakan negara – bangsa yang menghimpun beragam suku, budaya, bahasa, bahkan agama. dalam satu payung negara kesatuan inilah, keragaman itu menemukan tempat berseminya.

Indonesia yang dihuni beragam suku bangsa serta beragam agama menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita. Menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita. Menjadi ujian karena tampaknya keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama kerap menjadi pemicu lahirnya konflik etnis dan agama. sementara menjadi berkah karena kenyataan intu menjadi kekayaan yang patut diselamatkan sehingga kita bisa saling memahami dan menghargai sesama atas dasar kesamaan bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dengan pancasila sebagai ideologi negaranya memang sedang diuji. Indikasi retaknya kebangsaan kita mulai menyembul ke permukaan, misalnya dengan apa yang disebut bangkitnya politik identitas. Menguapnya politik identitas terjadi akibat melunturnya kewibawaan negara dalam mengimplementasikan keinginan warganya. Sehingga yang terjadi, warga negaramengambil inisiatif sendiri karena negara dinilai tidak lagi mampu menampilkan sosoknya sebagai otoritas yang paling berwenang mewujudkan kepentingan warga negaranya.

Fakta membuktikan bahwa, inisiatif warga yang tidak terkontrol pun bisa menjadi semacam ancaman tersendiri bagi keutuhan bangsa ini yang telah melewati masa – masa kemerdekaannya. Ini diperkuat dengan bangkitnya eskalasi komunalisme dan sektarianise yang tampaknya tidak berbanding lurus dengan pemahaman wawasan kebangsaan warganya.

Jiwa nasionalisme bangsa Indonesia benar – benar terancam. Adalah tugas seluruh elemen bangsa ini untuk segera mengambil inisiatif dan berbenah merajut kembali semangat kebangsaan yang mulai koyak sebab jika tidak dilakukan, maka ini menajdi batu sandungan bagi keutuhan bangsa. Menguatnya komunalisme dan sektarianisme akan berdampak pada memudarnya wawasan kebangsaan dengan munculnya apa yang disebut nasionalisme etnisitas.

Pada tangggal 17 Agustus 2008 nanti, usia kemerdekaan Indonesia akan genap 63 tahun, sebuah usia yang bukan muda lagi bisa dikatakan muda tetapi belum juga pantas dikatakan uzur.namun komitmen kebangsaan kembali disoal. Ini terjadi karena ternyata kebangsaan yang menjadi penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi ancaman yang tidak sederhana. Riak – riak gelombang pemisahan diri dari NKRI di berbagai daerah kembali menghantui bangsa ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa ikatan kebangsaan kita sungguh rapuh dan hanya gara – gara DAU (Dana Alokasi Umum) yang merupakan jatah daerah kena pangkas 25% saja orang daerah dengan mudah tanpa merasa salah berseru “kita akan merdeka jika DAU diturunkan” ….” Kita akan pisah dari NKRI jika dana perimbangan pusat tidak ditransparant”…..” kita serbu pusat …..” daerah ini DIHISAP oleh pusat, oleh karena itu mari kita merdeka ….. dsb …. Dsb….miris saya melanjutkan kata – kata sejenis ini.

Kerapuhan ikatan kebangsaan ini kian mengukuhkan bahwa jahitan kebangsaan kita tidak sungguh solid. Nasionalisme menciut digantikan oleh semangat komunalisme dan sektarianisme. Indikasi menguatnya komunalisme dan sektarianisme. Indikasi menguatnya komunalisme dan sektarianisme ini kian tampak dipelbagai daerah yang belakangan kemabli mengagung – agungkan identitas komunalnya.

Gejala disintegrasi nasionalisme itu perlu diwaspadai. Jika tidak, maka NKRI yang menjadi komitmen bersama menghadapi ancaman serius. Oleh karena itu, sudah seharusnya wawasan kebangsaan dipupuk dan ditanamkan pada warga negara agar mereka bisa lebih mencintai tanah airnya. Cara ini sekaligus bisa menangkal ancaman komunalisme dan sektarianisme yang semakin hari semakin mengemuka. Selain itu, pengembangan kehidupan yang berorientasi kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat, harus benar – benar dibuktikan oleh aparatur negara ini. Prinsip ‘tebang pilih’dalam masalah hukum sebagaimana ditengarai banyak kalangan hendaknya tidak terjadi. Law enforcement harus menjadi prinsip, dan mengikat seluruh warga negara tanpa memberi privilege pada sebagian kelompok tertentu.

Semaraknya beragam masalah kebangsaan ini seharusnya segera dicarikan formulasi penyelesaiannya. Ditengah indikasi raibnya identitas keindonesiaan ditambah dengan dangkalnya wawasan kebangsaan, maka upaya untuk menanamkan semangat dan wawasan kebangsaan sudah seharusnya dimulai sejak dini.

Salah satu upaya untuk membentuk rasa kebangsaan adalah lewat jalur pendidikan. Dan pendidikan menjadi sarana efektif untuk menyosialisasikan dan mendalami wawasan kebangsaan. Tetapi lihatlah atmosphere pendidikan kita sekarang ini, sekolah yang seharusnya “sebagai miniatur” indonesia denga segala ragam agama, suku dan budaya dan tempat berinterkasinya murid dalam keperbedaan itu sekarang akan semakin memudar. Yayasan agama tertentu membentuk sekolah sendiri mulai dari playgroup – kinder garten (TK) – SD – SLTP – SMU bahkan sampai perguruan tinggiyang dikhususkan untuk murid – murid pemeluk agama tersebut. Perguruan tinggi di daerah dibuka dengan mudahnya tanpa harus menyeberang laut untuk kuliah. Kalau demikian kondisinya, bisakah lembaga pendidikan menjadi the agent of change, the agent of development, the agent of building nationalism dinegeri ini???

Selain itu, beberapa hal yang patut ditanamkan adalah apresiasi terhadap kearifan lokal (local wisdom), penanaman wawasan kebangsaan, serta penguatan harmoni dan toleransi antara kelompok suku, agama, dan ras yang berbeda. Apresiasi terhadap kearifan lokal itu penting untuk menggali nilai dan semangat yang terkandung dalam nilai budaya yang beragam untuk kemudian diangkat dalam konteks nasional dan kemudian didayagunakan dalam memebentuk karakter masyarakat atau bangsa.

Begitu juga dengan penanaman wawasan kebangsaan. Terbentuknya Indonesia melalui proses yang cukup panjanga, dan dengan mengerti sejarah lahir dan perjalanan bangsa ini, warga negara tidak memiliki kesenjangan dengan sejarah bangsanya sendiri. Karena eksistensi suatu bangsa tidak lepas dari kesinambungan historis dengan masa lalunya. Dengan belajar dari sejarah, kesadaran berbangsa akan menguat sehingga kita berpijak pada realitas kekinian dengan kukuh untuk membangun masa depan yang gemilang.

Disamping itu adalah penguatan toleransi dan harmoni antar beragam entitas budaya, agama, dan suku. Ditengah merebaknya sektarianisme, maka sudah seharusnya masyarakat dibekali dengan pemahaman yang utuh mengenai keragaman entitas bangsa yang terdiri dari beragam agama, budaya dan suku. Bukannya menunggalkan, tapi malah memberikan pengertian bahwa didalam keragaman ini, toleransi dan dialog menjadi semangat yang senatniasa dikedepankan. Dengan upaya ini, lunturnya wawasan kebangsaan yang mulai tampak akhir – akhir ini terselamatkan.
B. Hidup harmonis dalam pluralistik
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : “ In the socil sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation”. Atau dalam bahasa indonesia : “suatu kerangaka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan)”.

Polemik

Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti : pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultur pluralisme digunakan sebagai alsan pencampuran antar ajaran agama pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.

Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralisme sebagaimana pengertian dalam bahasa inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya rekasi dari berbagai pihak. Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.

Catatan

Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanyan kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamnay sja yang benar sedangkan yang lain salah. Plurlisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan disurga”. Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama islam.

Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism – non asimilasi, hal ini di-salah-pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara disisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.

Kristalisai polemik

Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung sering kali melapisi aroma debat.
C. Film dan Novel Ayat Ayat Cinta (sebuah pelajaran yang bagus)

Pada tahun 2005 seorang teman memberikan saya buku judulnya Ayat ayat cinta, pertama kali saya lihat judulnyalangsung dugaan saya :ini pasti buku jawaban atas bukunya Salman Rusdi yang heboh itu yang berjudul Ayat ayat Setan (satanic verses). Sambil iseng saya baca novel itu ternyata beda dan bukan merupakan “jawaban” atas novelnya Salam Rusdi. Buku (novel) ayat ayat Cinta karangan habiburahman El Shirazy yang kemudian difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo dengan jduul yang sama itu menyedot animo sangat besar dari masyarakat. Buku yang sejak diterbitkan pertama kali pada akhir tahun 2004 itu menjadi best seller sampai detik ini. Sementara filmnya sampai bulan Juli minggu ke-3 sudah ditonton 3,5 juta orang yang merupakan rekor untuk ukuran film nasional. Saya tidak bermaksud meresensi buku maupun film itu, apalagi mempromosikannya. Saya hanya mengajak untuk mengambil pesan yang disampaikan didalamnya.

Salah satu kekuatan Ayat Ayat Cinta adalah tentang indahnya toleransiyang diperlihatkan para tokohnya, meskipun berbeda agama dan bangsa. Ketaatan menjalankan agama masing – masing justru menjadi perekat berinteraksi, saling toleran dan menghormati antar sesama. Itulah pesan yang terkandung dalam Ayat Ayat Cinta untuk kita teladani danterapkan dalam kehidupan yang sesungguhnya.

Dikisahkan, Fahri adalah seorang pemuda Jawa yang saleh dan taat menjalankan agama ( Islam) yang sedang menimba ilmu di Univesitas Al Azhar mesir. Tinggal bersama beberapa temannya yang juga dari Indonesia disebuah Flat (semacam rumah susun) di kota Cairo. Di flat itu mereka bertetangga dengan keluarga Maria yang asli Mesir dan menganut kristen. Didalam Ayat Ayat Cinta, interksi antara Fahri cs dengan keluarga maria yang berbeda bangsa dan agama itu digambarkan dengan sangat memikat.

Seperti pada waktu fahri memebri hadiah untuk keluarga Maria pada hari istimewa mereka, atau ketika fahri dirawat dirumah sakit keluarga Marialah yang banyak mengulurkan bantuan. Juga diceritakan bagaimana sikap fahri ketika mengetahui atap flatnya kebocoran air yang berasal dari kamar mandi keluarga Maria (flat Fahri ada di bawah keluarga keluarga maria yang berarti atap flat Fahri adalah lantai keluarga Maria), fahri lebih memilih diam dan menampung rembesan air itu dengan sebuah ember agar tidak merepotkan dan menyakiti tetangga, demi mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ‘siapa yang beriman keapada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya’. Sampai membuat keluarga Maria terharu. Ada juga sebuah momen ketika Fahri dan Maria bahu membahu menyelamatkan seorang gadis Mesir yang hendak dilacurkan ayah pungutnya. Fahri terbebas dari penjara karena difitnah pun berkat andil keluarga Maria.

Dikisahkan juga Fahri sempat menolong wartawati asal Amerika Serikat yang menjadi bulan bulanan orang orang didalam kereta api, semata karena fahri memegang prinsip bahwa ahlu dzimmah (non muslim yang hidup damai di negeri kaum muslim) harus dilindungi sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW yang lainnya, ‘barangsiapa yang menyakiti Dzimmi maka dia menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah’

Menurut penulis Ayat ayat cinta sendiri (Habiburahman), harmonisasi antar umat beragama yang terjadi di Mesir itu bukan imajinasi belaka, melainkan berdasarkan kenyataan yang benar – benar terjadi. Dan Indonesia pun, sebenarnya sudah cukup berpengalaman dalam hal toleransi antar umat beragama sejak berabad – abad silam sebagaimana digambarkan Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Sangat sedikit negara didunia yang dapat bertahan dalam kemajemukan seperti Indonesia. Yugoslavia dan Uni Soviet adalah segelintir contoh negara yang gagal mengemas segala perbedaan dalam tubuhnya sehingga kedua negara itu kini terhapus dari peta dunia.

Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa pernah terjadi “gesekan” bernuansa SARA yang cukup meresahkan, seperti di Poso, Sampit ataupunAmbon beberapa tahun yang lalu. Berkat kerja keras semua pihak, daerah – daerah tersebut sekarang sudah berangsur – angsur damai. Tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi lagi, kecuali mereka yang tidak waras atau berniat buruk pada kesatuan negeri ini. Ngeri rasanya membayangkan Indonesia bernasib seperti Yugoslavia ataupun uni Soviet.

Demikianlah, ketaatan dan pengetahuan yang paripurna pada ajaran agama sesungguhnya tidak akan membuat orang intoleran dan merasa benar sendiri. Fahri dan Maria telah mencontohkan dalam Ayat – Ayat Cinta. Saya yakin, masih banyak orang – orang seperti (atau yang ingin seperti) Fahri dan Maria di dunia ini. Sangat benar bahwa fanatisme agama yang menjurus pada tindakan destruktif – terlebih teror – bukan berasal dari ajaran agama apapun, minimal merupakan interpretasi yang keliru dan tak lebih dari memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok yang mencatut nama agama. Agama yang disampaikan dengan kekerasan tidak akan mendapatkan simpati, justru akan membuat orang lari dari agama. Dengan mendalami agama masing – masing dan menjalankan sesuai syariatnya justru membuat kita lebih bijak dalam mengarungi hidup yang penuh perbedaan ini. Dan membina kehidupan yang sebaik – baiknya kepada semua manusia – sekali lagi meskipun berbeda – beda agama, keyakinan, ras, suku, bangsa, (ataupun partai politik) adalah kebaikan yang terbaik dalam hidup.





REFERENSI

Ahmad Fawaid Sjadzili, 2006, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU)

Russell T. Williams, 2006, Passkeys – Jefferson Center for Character Education – USA

El Shirazy, Habiburrahman, 2004, Ayat Ayat Cinta

Tidak ada komentar: