21 Oktober, 2008

REFERENSI

Kebudayaan Nusantara

Sulawesi / Celebes

I
Secara geologis, awalnya pulau Sulawesi terdiri atas tujuh pulau yang dipisahkan oleh laut. Lalu, akibat gerak bumi maka terjadi penyatuan wilayah(unifikasi). Ukuran melihatnya bisa lewat satwa endemik, kera yang berbeda dibeberapa tempat, mulai kera di Maros(sulsel) sampai Tarsius(kera kecil) di Sulawesi Utara. Diantara bentangan kepulauan nusantara lainnya, Sulawesi disebut sebagai pulau tua(proto-island). Pada tingkat kebudayaan, maka menjadi wajar kalau terdapat klaim/pengakuan diri sebagai sentrum/pusat kebudayaan disetiap bekas tujuh pulau terpisah. Minahasa menyebut dirinya awal di Sulawesi Utara, Kalumpang yakin merekalah sejarah kebudayaan awal di Sulawesi Barat, Luwu, berdasar pada sureq I Lagaligo, menyebut diri leluhur masyarakat di Sulawesi Selatan.

II
Dengan sendirinya, kebudayaan pertama adalah kebudayaan yang bersumber dari pegunungan atau dataran tinggi. Bermigrasi dan menyebar seiring garis pantai terbentuk didataran lebih rendah. Karena itu kultur sebagai pelaut pun dibangun sejak lama bahkan ditempat yang sekarang kita sebut daerah pegunungan. Cerita tentang ‘perahu Sawerigading’ yang telah menjadi semacam “kesepahaman-cerita” mulai dari masyarakat di Selayar(gong Sawerigading) sampai di Benawa/Kaili(perahu Sawerigading), dapat ditemukan jejak masa lalu pelaut-pelaut Sulawesi.

III
Manusia pertama/awal di Sulawesi di sejumlah komunitas suku/masyarakat disebutkan terkait dengan air. Misalnya, leluhur Minahasa, To-ar dan Lumimuut. Keduanya disebutkan keluar dari air. Komunitas adat Mappurondo, didataran tinggi Mambi meyakini leluhur pertama mereka adalah to rije’ne atau orang air. Atau masyarakat tua kalumpang didataran tinggi mamuju, yang secara historis masih memiliki ikatan sosial dengan to kaili(suku kaili) menyebut manusia pertama mereka sebagai ; to kombong diburra, to bisse di tallang atau lahir dari buih air, keluar dari bambu.

IV
Penggunaan kata To, Tu, Toa, Tou, sangat banyak ditemukan diberbagai komunitas adat/suku/sub-suku di sepanjang kepulauan Sulawesi. Misalnya di Luwu Wo-tu atau po-tu berarti keluarga atau rumpun keluarga, pemimpin adat masyarakat/suku Kajang-Bulukumba, digelari : Amma-toa. Di Minahasa, tempat pertemuan leluhur mereka disebuah batu tua yang diberi nama Wa-tu Pi-nawetengan. Lelaki minahasa, dipanggil tu-ama, pemimpin warga disebut To-naas. Pemimpin tertinggi dikerajaan tua Luwu(sulsel) digelari da-tu. Di Minahasa, penyebutan sub-etnis pun menggunakan kata Tou : Tou-dano, Tou-temboan. Tidak berbeda dengan penyebutan suku disekitar pantai timur Sulawesi selatan (To-raja) dan pantai barat Sulawesi tenggara (To-laki). Di daerah Bambang, Sulawesi Barat pemimpin komunitas digelari To-ma-tua-to-nda yang berarti orang tua kampung.

V
Sejumlah kemiripan/kesamaan sebutan bisa kita lihat antara sejumlah masyarakat/suku/komunitas di sepanjang Sulawesi. Misalnya antara Banggae(majene), Bangga(Kaili), Banggaiba(Sulteng), Banggai(Luwuk), Binanga(Mandar), Binuang, Bitung(Sulut), Butung(Buton). Kata ‘La’ sebagai penanda kita temukan mulai dari La galigo, La ode(gelar bangsawan di Sulawesi tenggara), hingga La hillote (tokoh spiritual kharismatik gorontalo). Dalam aktfitas sehari-hari, misalnya makan, juga dapat ditemukan sebaran kata yang mirip : nganre(makassar), mandre(bugis), mande-kumande(toraja), monga(gorontalo), mongaan(bolaang mongondow). Jika benar kata ‘pi’ adalah satu kata kunci lama nusantara maka di Sulawesi juga sama. Kita bisa lihat dalam: pi-tumpanua(Selatan palopo, wilayah ke-da-tu-an luwu), pi-tu ulunna salu, pi-tu ba’bana binanga(tujuh kerajaan dihulu sungai, dan tujuh kerajaan dihilir, sebagai persekutuan adat tanah mandar), pi-nawetengan(tempat pertemuan, leluhur Minahasa).

VI
Secara politik, rata-rata Sulawesi memperlihatkan kalau pola/model konfederasi atau serikat kerajaan-kerajaan adalah pilihan yang dipakai dalam membangun kekuasaan/tata pemerintahan. Luwu sebagai ke-datu-an dikembangkan dari dasar kesatuan Anak Tellue: Bua’, Ponrang, dan Baebunta. Di jazirah Mandar, kita mengenal persekutuan pitu ulunna salu pitu ba’bana binanga sebagai bentul konfederasi politik yang berfungsi untuk menata relasi politik kewilayahan dan proteksi atas kepentingan kolektif seluruh pihak persekutuan. Fakta yang serupa, bisa kita lihat dalam konfederasi linula-linula di Gorontalo(Hulondalo), menjadi bukti kalau semangat kolektivisme dan kekerabatan, tidak hanya menjadi ikatan bersifat geo-kultural, tapi juga efektif untuk kepentingan geopolitik.

(Operasi Achilles, Universitas Hasanuddin, 2006)

Tidak ada komentar: