11 Juni, 2009



'Contact

I edited my layout at Bigoo.ws, check out these Myspace Layouts!


07 Juni, 2009


Theo Sambuaga kepada wartawan mengatakan, inti kunjungan Komisi I ini ke Malaysia untuk meyakinkan pemerintah Malaysia melalui Parlemen Malaysia supaya turut menjaga hubungan baik kedua negara untuk kepentingan bersama dengan tidak melakukan provokasi-provkasi di perairan Ambalat. "Sebab dengan provokasi yang dilakukan itu, jelas akan memperburuk hubungan baik kedua negara, dan kita tidak menghendaki hal itu," kata Theo.

"Pada pertemuan tadi, kami juga merasa lega dan bahagia karena mendapat penegasan-penegasan dari Presiden SBY. Presiden menegaskan, kalau soal kedaulatan itu harga mati dan pemerintah serius dalam hal ini untuk menjaga kedaulatan RI. Namun kita tetap mengedepankan pembicaraan. Tetapi kalau upaya-upaya provokasi itu berlanjut terus, kita akan ingatkan, kalau terus mengganggu dan itu sudah masalah kedaulatan, itu tidak bisa lagi ditolerir. Kita akan mengambil langkah-langkah lebih tegas untuk mempertahankan kedaulatan kita, " ujar Theo Sambuaga.

Sementara itu, Menkopolhukam Widodo AS menegaskan, TNI komitmen untuk selalu hadir menjaga perbatasan. "Disamping langkah-langkah diplomasi dalam bentuk perundingan, kita tetap konsisiten untuk menghadirkan kekuatan di sana dalam rangka kontrol. Sekarang ini diaktifkan enam kapal yang hadir sepanjang tahun," kata Widodo AS.

Tampak hadir mendampingi Presiden dalam pertemuannya dengan Komisi I DPR-RI selain Menko Polhukam juga Menhan Juwono Sudarsono, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, sementara dari Komisi I antara lain, Theo Sambuaga, Happy Bone Zulkarnaen, Yusron Ihza Mahendra, Djoko Susilo dan Andreas Parera

17 Februari, 2009



“SOMPE” DAN PEMBERONTAKAN SOSIAL-EKONOMI

“Resopa temmangingi, matinulu, namalomo naletei pammase dewata sewwa-E.” Begitulah pesan tetua Bugis-Makassar kepada anak cucunya. Bahwa ”Rahmat berupa kesejahteraan dari Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa di raih melalui kerja keras, gigih, dan ulet”.

Bagi warga Bugis-Makassar, semangat kerja keras yang biasa di lafalkan sebagai Makkareso tak hanya di wujudkan dalam bentuk bekerja ulet di tanah kelahiran atau di kampung asal. Guna bertahan hidup, di mana saja, semangat itu di kobarkan. Namun, lazimnya, kutipan pesan itu diucapkan para tetua kepada anak-anak muda yang meminta restu untuk sompe’ atau merantau.

Secara etimologi, istilah sompe’ berasal dari bahasa Bugis yang artinya berlayar. Zaman dulu, kendaraan yang paling lazim di gunakan untuk bepergian jauh adalah (perahu) kapal layar. Maka, orang yang berlayar untuk bepergian jauh meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan yang lebih baik biasa di sebut sompe’.

Antropolog dari Universitas Hasanuddin, Prof Dr Abu Hamid, dalam buku pasompe:pengembaraan orang Bugis (pustaka refleksi, 2004), memaknakan pasompe’ sebagai pelaut-pedagang yang berlayar dari pulau ke pulau atau dari satu negeri ke negeri lain. Orang Bugis lekat dengan budaya migrasi karena ketangkasannya berlayar. Ini erat dengan hukum pelayaran dan perdagangan, seperti kontrak kerja, perkongsian, upah muatan/penumpang, dan utang-piutang.

Abu hamid mengklaim nenek moyang Bugis-Makassar mampu menjelajahi lautan hingga Malaysia, Filipina, China, dan Australia. Dalam kepustakaan melayu terkisahkan beberapa sultan pembesar Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar, seperti Sultan Johor, Selangor, Trengganu, dan Pahang.

Abu mengaitkan itu semua dengan epos La Galigo, yaitu episode pengembaraan dan pelayaran Sawerigading di kepulauan Nusantara dan China.

Sosiologi dari Unhas, Dr Muhammad Darwis, mengatakan semangat perantauan itu merupakan wujud dari naluri gandrung akan tantangan ”Adrenalin orang Bugis-Makassar untuk hidup lebih baik terlecut ketika dirinya di hadapkan pada tantangan. Kondisi hidup berpahit-pahit dan bersusah-susah sedapat mungkin di kondisikan untuk memacu diri meraih kehidupan lebih baik,” ujar Darwis.

Semangat survival orang Bugis-Makassar di tanah rantau, menurut Darwis, juga tak lepas dari sistem sosial-budaya yang lekat dengan hierarki (kasta), yakni Arung (bangsawan/juragan) dan Ata (hamba/orang kebanyakan). Bagi orang kebanyakan yang ingin bebas dri sistem itu atau setidaknya ingin naik kelas sosial, merantau adalah salah satu pilihan.

Tali-temali dengan mobilitas vertikal, ekonom senior dari Unhas, Prof Halide, menekankannya pada aspek ekonomi. ”Penigkatan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan strata sosial yang di sandangnya,” kata Halide.

Kisah Sukses

Haji Syamsudin Tumpa (65) adalah contoh putra Bugis-Makassar yang sukses sebagai perantau. Tekadnya untuk memperbaiki nasib dengan meninggalkan kampung halaman di Pangkep dan Maros, Sulawesi Selatan, ia buktikan. Impiannya untuk mendongkrak strata sosial dari kuli angkut menjadi bos usaha angkutan kapal laut sudah terwujud lebih dari 20 tahun terakhir.

Di Jayapura, Papua, usaha ekspedisi muatan kapal laut yang dirintisnya sejak beberapa tahun setelah menginjakkan kaki di sana tahun1969 kini telah mempekerjakan sekitar 200 warga setempat.

Jika suatu saat Anda berjalan-jalan di kompleks pelabuhan Jayapura, cobalah sebut nama Syamsuddin, maka orang-orang yang hilir mudik di area itu-mulai dari kuli angkut, calo tiket, hingga pegawai pelabuhan-segera menunjuk sebuah bangunan permanen di kawasan pelabuhan. Di situlah Syamsuddin sehari-hari bertindak sebagai juragan yang memitrai hampir semua kapal barang yang berlabuh di pelabuhan Jayapura.

”Kalau saja saya tidak merantau ke Papua tahun 1969, mungkin hidup saya tidak berubah, masih tetap bolak-balik naik-turn kapal memikul barang,” kenang pria yang suka berpeci ini.

Kediamannya di jalan gajah putih, Jayapura, secara periodik menjadi tempat berkumpul tokoh masyarakat asal Sulsel. Maklum, sudah lebih lima tahun Syamsuddin menjabat sebagai ketua kerukunan keluarga Sulawsi Selatan Provinsi Papua. Organisasi primordial ini menghimpun sekitar 70.000 Warga asal Sulsel yang bermukim di Papua, mencakup warga suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Keberhasilannya menjadi orang terpandang tentu bukanlah karena ”simsalabim”. Jalan panjang dan prihatin ia sempat lalui, terutama ketika berusia 20-30 tahun. Kerasnya kehidupan sebagai buruh pelabuhan yang (maaf) akrab dengan premanisme telah menempanya menjadi sosok perantau yang tangguh.

Tekad untuk mengubah nasib sudah terpatok dalam batinnya ketika ia masih bekerja sebagai kuli pelabuhan di Makassar pada pertengahan tahun 1960, kala itu, sebagai orang dari kelas sosial kebanyakan, ia menyadari betapa sulit menjadi juragan jika terus menerus bergaul sesama kuli di daerah sendiri, terlebih bekal pendidikannya tak sampai SMA. ”Kalau saya di Makassar terus, selamanya saya tak terdorong untuk mengubah nasib,” katanya.

Jadilah ia-di usia 25 tahun- meninggalkan Makassar menuju Jayapura. Di sana, selama beberapa tahun, ia sempat malang melintang sebagai buruh pelabuhan sebelum kemudian merintis usaha sendiri yang tak jauh-jauh dari urusan bongkar muat.

Pasar Tradisional

Di pasar-pasar tradisional Papua, seperti pasar Entrop, Hamadi, Abepura, Ampera, dan Sentani, percakapan antar pemilik kios/los sangat lekat dengan logat Bugis-Makassar dialek Bone, Soppeng, Wajo, Maros, Barru, Pinrang, dan Sidrap.

Umumnya, pemilik kios juga mempekerjakan sanak famili yang ikut serta dari Sulsel selepas masa mudik lebaran.

Sebutlah, misalnya, Daeng Said (52), satu dari sekitar 200 pedagang pasar sentral Hamidi. Ia mempekerjakan keponakannya, Aco (20), yang tergiur ikut serta mengadu nasib di perantauan.

”Dari pada nganggur di Pangkep, lebih baik ikut paman,” ujar Aco, tang mengaku tamatan SMA.

Di wilayah timur Indonesia, Papua hanyalah satu diantara daerah tujuan rantau orang Bugis-Makassar. Di Ambon, Kupang, dan Palu, mereka juga merajai kegiatanekonomi tradisional, terutama untuk perdagangan bahan kebutuhan pokok.

Di wilayah tengah dan barat, tak sedikit perantau Bugis-Makassar juga di temukan di kota-kota pesisir Kalimantan dan Sumatera.

Tentang survival dan di terimanya perantau asal Bugis-Makassar oleh warga lokal di manapun berada, Darwis dan Halide melihatnya sebagai cerminan simbiosis metualisme. Orang Bugis-Makassar berdagang untuk memutar roda ekonomi setempat, terutama untuk kebutuhan sehari-hari.

Keuntungannya sebagian besar di putar kembali untuk mengembangkan usaha di tempat itu juga sehingga pekerja lokal bisa terserap.

Guna menguatkan ikatan sosial-budaya, tak jarang mereka kawin-mawin dengan warga lokal. Alhasil, motif sosial, ekonomi, dan budaya pun itu bertaut...


OLEH
NASRULLAH NARA


MELAYU-BUGIS-MAKASSAR
Arus Balik Sejarah

Sesungguhnya, kehadiran Bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum mereka masuk kejantung kekuasaan melayu, orang-orang melayu-lah yang lebih dulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.

Menyusul kejatuhan melaka ke tangan portugis (1511), tidak sedikit kerabat istana yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke sulawesi. Di wilayah kerajaan Gowa ini mereka bermukim di salojo, daerah pesisir Makassar dan sanrobone.

Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian-khususnya perdagangan antar pulau melalui pelabuhan Makassar-dikuasi oleh orang melayu. Baru pada 1621 orang-orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di nusantara.

”Sejak kedatangan orang-orang melayu di kerajaan Gowa, peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang melayu yang memegang peran penting di istana,” kata Mukhlis, yang juga adalah ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Di zaman raja Gowa X (1546-1565), misalnya, seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajau yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang di aingkat sebagai syahbandar kerajaan Gowa ke-2 sejak saat itu, kata Mukhlis, secara turun temurun jabatan syahbandar di pegang oleh orang melayu, sampai dengan syahbandar Incek Husa ketika kerajaan Gowa kalah dalam perang melawan VOC tahun 1669.

Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, yakni ketika Incek Amin menduduki jabatan itu pada zaman Sultan Hasanuddin (1653-1669). Juru tulis di istana ini sangat terkenal melalui syairnya yang amat indah, shair perang mangkasar, mengisahkan saat-saat terakhir kerajaan Gowa tahun 1669.

Menurut Mukhlis, sumbangan utama orang-orang melayu diwilayah timur Nusantara tidak terbatas di bidang perdagangan dan penyebaran agam Islam, tapi juga di bidang pendidikan dan kebudayaan. Pada masa itulah naskah-naskah keagamaan dan sastra berbahasa Melayu di terjemahkan ke bahasa Bugis.

Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke-19. salah satunya, penulisan ulang I La Galigo-karya sastra bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar dari khazanah ke susastraan Indonesia-tahun 1860 oleh bangsawan bugis dari tanete bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanete.

”Namun siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Ia adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Incek Ali Abdullah Datu Pabean, syahbandar Makassar abad XIX, yang tak lain keturunan Melayu-Johor berdarah Bugis-Makassar,”tutur Mukhlis.

Dalam proses akulturasi budaya dan perkawinan antara orang Melayu dan orang-orang Bugis-Makassar, lahirnya ”generasi baru” Bugis-Makassar keturunan Melayu. Mereka ini secara umum dikenal sebagai masyarakat golongan Tubaji (Makassar) atau Tudeceng (Bugis). Dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka ini memempati posisi terhormat, bahkan tak sedikit yang masuk kestruktur golongan bangsawan.

Ketika Benteng Somba Opu jatuh dan Sultan Hasanuddin harus tunduk pada isi perjanjian Bongaya, kelompok masyarakat ”Melayu-Bugis-Makassar” inilah sebagai motor penggerak migrasi di kalangan bangsawan gowa. Namun, terlepas dari adanya semacam ”Arus Balik” tersebut, perkawinan campuran Melayu-Bugis-Makassar ini telah melahirkan apa yang di sebut Mukhlis PaEni sebagai masyarakat baru di Nusantara.

”dalam diri Tubaji/Tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, bercampur heroisme Bugis-Makassar, dan kearifan Bajau. Sejarah mencatat, Kehadiran Masyarakat Baru Nusantara ini berperan penting dalam sejarah Nusantara abad XVIII-XIX. Peran ini masih berlanjut hingga kini,’ kata Mukhlis PaEni.

Diaspora Bugis-Makassar adalah sebuah keniscayaan, bagian dari sejarah bangsa ini menemukan keindonesiaannya. Dan memang harus diakui, mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari dinamika sejarah masyarakat Nusantara. (KEN)


Kalola, Kampung Para Pengembara

Tidak ada yang istimewa dari tampilan fisik desa Kalola. Sebagian besar rumah panggung yang ada masih berupa bangunan lama, yang juga tidak istimewa. Bahan dasar bangunan maupun arsitekturnya pun tergolong biasa-biasa saja.

Dibandingkan desa-desa tetangganya di kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sepintas terlihat betapa kemajuan fisik kalola masih tertinggal. Meski di seberang jalan negara yang menghubungkan pare-pare ke arah ibu kota Wajo si Sengkang hingga Watampone di kabupaten Bone terbentang sawah menghijau, tetapi tak terlihat tanda-tanda kemakmuran menjamah mereka.

Inikah potret salah satu kampung asal pengembara bugis yang terkenal hingga kesebeang lautan itu? Waktu yang berlari cepat ternyata tak membuka cukup ruang untuk mengubah suatu peradaban sehingga kehidupan pun seperti jalan di tempat.

Di sinilah, 28 tahun lalu, Cik Hasan Bisri-dosen fakultas syariah,IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, yang kala itu tengah mengikuti pendidikan di pusat latihan penelitian ilmu-ilmu sosial (PLPIIS) Makassar-mencatat tingginya angka migrasi dari desa ini. Akibatnya, kampung-kampung di lingkup desa kalola kehilangan banyak penduduk. Sawah-sawah pun terlantar karena di tinggal pergi para pemiliknya.

Di kampung LawatanaE, misalnya dari sekitar 300 keluarga yang semula bermukim di sana hanya tersisa 30 keluarga sementaa 100 keluarga penghuni kampung Langkautu dan sekitar 200 keluarga yang bermukim di kampung AwatanaE, saat penelitian dilakukan Cik Hasan Bisri pada tahun 1981, sudah kosong tanpa penghuni.

”Hanya beberapa rumah tangga saja yang pindah Callaccu dan Anabanua atau ke pare-pare, sedangkan yang lainnya pergi merantau. Kini, kampung-kampung tersebut tingal bekasnya saja, berupa pohon-pohon kelapa yang bisasanya mereka tanam pada saat kelahiran bayi-bayi mereka,” tulis Cik Hasan (Migrasi, yayasan Ilmu-ilmu Sodial, 1985).

Dalam rentang waaktu 11 tahun, 1969-1980, Kalola pernah ”kehilangan” 8.762 warganya. Jumlah i ni sangat besar, mengingat jumlah penduduk Kalola pada 1980 tercatat ”hanya” 3.447 jiwa.

Jumlah penduduk Kalola yang tinggal di kampung halaman mereka ternyata jauh lebih kecil di bandingkan orang-orang Kalola yang ada di perantauan. Sebagian besar diantara mereka menetap di Jambi. Bahkan, menurut perkiraan salah seorang perantau yang menjadi nara sumber Cik Hasan, ”perantau Bugis asal Kalola di Jambi saja mungkin lebih banyak dari pada penduduk Desa Kalola sekarang ini.”

Lebih 28 tahun kemudian, Kalola memang mengalami perubahan. Paling tidak, kini tak ada lagi swah yang terlantar. Saluran irigasi sudah sampai ke Desa mereka, sehingga upaya peningkatan hasil usaha tani-yang sebelumnya jadi salah satu alasan perantauan, di samping karena di picu kekacauan politik akibat pemberontakan DI/TII-nya Kahar Muzakkar-bisa di lipatgandakan.

Akan tetapi keberhasilan usaha tidak serta-merta memperbaiki nasib dan meningkatkan status sosial mereka. Tidak mengherankan bila arus migrasi dari Desa Kalola masih berlangsung hingga kini, meski jumlahnya tidak lagi seperti ”eksodus” pada tahun 1960-an dan 1970-an.

”Pokoknya jauh berkurang. Ya, sekitar satu sampai tiga orang-lah,” kata Ansar Ala, pemuda setempat.

Menurut kepala Desa Kalola Haji Ambo Ala, migrasi besar-besaran yang dilakukan Orang-orang Bugis-Wajo asal Kalola kala itu lebih di sebabkan karena terjadinya kekacauan pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Akibat kekacauan itu, yang di picu pemberontakan DI/TII, masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

”Pergi merantau akhirnya menjadi pilihan,” ujar Haji Ambo Ala. ”Tetapi, jangan lupa, mereka tetap ingat Tana Bugis, kampung halamannya. Mereka masih ingat kerabat dan teman-teman sekampungnya. Biasanya mereka pulang sekali dalam 5-10 tahun. Saat pulang kampung, mereka memberikan bantuan baik untuk kerabat maupun bagi kepentingan umum,” tambahnya.

Menengok jauh kebelakang, perantauan orang-orang dari Kalola diperkirakan sudah berlangsung sejak abad XV. Sebagai satu di antara 65 kerajaan kecil di tana Wajo, tidak aneh bila orang-orang Kalola juga terlibat dalam aktivitas sebagai pedagang-pelayar yang ikut membuka permukiman baru di luar Tana Wajo.

Arus perantauan oran-orang Bugis-Wajo-termasuk penduduk Kalola-makin meningkat sejak di hancurkannya benteng Tosara oleh pasukan Bone yang di bantu Belanda pada 1670. peristiwa itu hampir bersamaan dengan migrasi besar-besaran orang Bugis-Makassar setelah kerajaan Gowa jatuh! (ken)


Intrik Di Jantung Melayu

Setelah beberapa kali salah jalan, rombongan kecil itu akhirnya tiba juga di makam bercungkup di puncak tebing merah berbatu kerikil. Sepelemparan batu dari sana. Sungai bintan mengalir tenang. Di kejauhan, dari selasar makam berwarna kuning menyala itu, debur ombak selat malaka sayup terdengar.

Tersesat beberapa kali, dan dua kali salah mendatangi ”alamat” makam yang di cari, hanyalah sisi lain dari gambaran awal betapa pendek ingatan sebagian anak negeri ini pada sejarah masa lalu bangsanya. Daeng Marewa-nama yang tertera pada plakat makam dan papan penanda bahwa kawasan ini adalah bagian dari benda cagar budaya-siapakah dia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk mereka yang tinggal di Kepulauan Riau dan sekitarnya-juga Johor, Pahang, dan Selangor-kini nama Daeng Marewa hampir tak lagi di kenal. Padahal, sejarah mencatat, Daeng Marewa adalah Yamtuan Muda Alias yang Dipertuan Muda Riau I. Jabatan setingkat perdana mentri itu ia sandang sekitar tujuh tahun (1721-1728), sebelum digantikan adiknya, Daeng Celak.

Siapakah sesungguhnya Daeng Marewa, juga Daeng Celak, dan bagaimana mereka bisa duduk di tampuk kekuasaan kesultanan melayu? Bukankah dari nama gelar (baca; Daeng) yang mereka sandang dengan gampang orang bisa mengaitkannya dengan kebangsawanan Bugis-Makassar?

Memang Daeng Marewa dan Daeng Celak adalah dua diantara lima bersaudara ’satria Bugis-Makassar, putra Opu Tenri Borong Daeng Rilekke. Tiga saudara mereka yang lain adalah Daeng Perani, Daeng Manambun, dan Daeng Kamase.

Lima bersaudara keturunan bangsawan-petualang Bugis-Makassar, meminjam istilah sejarawan Tufik Abdullah, inilah yang berperan penting dalam mengangkat marwah kesultanan Melayu (Riau-Johor) pada abad XVIII. Berkat mereka, kesultanan Melayu (saat itu berpusat di Johor sehingga sejarahpun mencatatnya sebagai kesultanan Melayu-Johor) bisa diselamatkan dari kehancuran akibat pendudukan raja kecil dari siak.

Ketika itu, raja kecil yang mengklaim sebagai keturunan (Alm) Sultan Mahmud Shah II menuntut atas hak tahta di Johor. Di bantu orang-orang minangkabau, pada maret 1718, raja kecil berhasil menguasai istana kesultanan Melayu-Johor, menyusul terbunuhnya raja muda Mahmud. Riau kepulauan ikut di kuasai pasukan raja kecil.

Pihak istana Johor yang lari ke Pahang lalu berpaling kepada pengembara Bugis-Makassar, yang kala itu di kenal sebagai salah satu kekuatan utama di Selat Melaka. Pilihan jatuh pada kekuatan lima bersaudara yang di pimpin daeng perani beserta pengikutnya.

Setelah melalui serangkaian pertempuran laut yang seru orang-orang Bugis-Makassar berhasil menghalau kekuatan raja kecil. Istana Johor bisa di rebut kembali. Sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1721-1760) yang di lantik sebagai penguasa Johor menetapkan semacam kuasa bersama antara Melayu dan Bugis-Makassar atas kedaulatan Melayu-Johor.

Satu diantara lima bersaudara tersebut, Daeng Marewa, bahkan di beri kekuasaan khusus sebagai Yamtuan Muda Riau. Adapun Daeng Perani-kelak jadi raja Muda di Selangor-dan Daeng Celak di kawinkan dengan saudara-saudara Sultan Johor.

Meski dalam struktur pemerintahan Sultan Johor memegang tampuk kepemimpinan, tetapi dalam peraktiknya yamtuan Muda Riau-lah yang sesungguhnya secara politik mengendalikan roda kekuasaan. Sekalipun belakangan kesultanan Melayu terpecah dua; Melayu-Johor dan Melayu-Riau-Lingga-Menyusul pembagian kekuasaan secara sepihak antara Inggris dan Belanda pada 1824-tetapi posisi keturunan bugis-Makassar di jantung Melayu tetap tak tergeserkan. Bahkan hingga Kesultanan Melayu-Riau dibubarkan oleh Belanda pada 3 februari 1911.

Bagaimana ”karier” Daeng Manambun dan Daeng Kamase? Tuhfat al Nafsis yang di tulis raja Ali Haji menyebutkan, ”Daeng Manambun menjadi raja di Mempawah bergelar Pangeran Emas Surya Negara ... adapun Daeng Kamase berkuasa di negeri Sambas bergelar Pangeran Mangkubumi.”

Ekses Perjanjian Bongaya

Kehadiran para pengembara Bugis-Makassar yang bisa masuk ke pusat kekuasaan kesultanan Melayu dan Kerajaan-Kerajaan lain di tanah Melayu merupakan fenomena menarik.

Mereka ternyata tidak sekedar berperan dalam dinamika sosial-ekonomi dalam jalur pelayaran dan perdagangan. Pada banyak tempat-di kesultanan Melayu (Johor-Riau) sebagai contoh kasus-orang-orang Bugis-Makassar bahkan terlibat dalam dinamika sosial politik hingga ke jantung kekuasaan..

Sejak diterapkannya perjanjian Bongaya (1667), menyusul kejatuhan Benteng Somba Opu sebagai pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo pada 24 juni 1669, memang terjadi migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar ke berbagai penjuru Nusantara.pola pelayaran dan perdagangan mereka pun, sebagai mana di catat Christian Pelras (Manusia Bugis,2006), mengalami perubahan.

Di motori para bangsawan dan raja-raja kecil yang menentang isi perjanjian tersebut, yang secara umum mengekang kebebasan dan bahkan mempreteli eksistensi mereka, tujuan migrasi terutama kewilayah barat Nusantara. Mereka menghindari wilayah timur-terutama ke Maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah-karena jalur perdangan dan pelayaran ditutup oleh Belanda.

Selain Kalimantan, Sumbawa, Lombok, Jawa-Bali, rombongan bangsawan Bugis-Makassar ini juga banyak menetap di Sumatera dan tanah Semenanjung. Opu Tenri Borong Daeng Rilekke-bangsawan dari kerajaan luwu yang ketika itu merupakan sekutu Gowa- bersama lima putera dan pengikutnya termasuk yang memilih bermigrasi ke pesisir timur Sumatera.

Di kawasan Selat Melaka ini mereka bersama pengembara Bugis-Makassar lainnya mendirikan perkampungan di pantai dan muara-muara sungai besar. Di Jambi, seperti daerah muara Sabak dan Tanjung Jabung, selain berdagang, orang-orang Bugis-Makassar juga membuka lahan perkebunan kelapa. Begitupun di kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

Pada masa ini, Ricklefs (2006) meyakini, pengembara Bugis-Makassar terlibat aktif di seluruh bagian barat Nusantara dan menjadi kekuatan utama di Selat Melaka. Bahkan seperti dicatat Pelras, dalam perkembangan berikutnya mereka melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu.

Tak hanya di kesultanan Melayu (Riau-Johor) serta pusat kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Semenanjung dan Kalimantan Barat, di belahan utara pulau Sumatera pun anak cucu pengembara Bugis-Makassar juga masuk kejantung kekuasaan. Di kesultanan Aceh, misalnya, selama hampir dua abad (1727-1838), Ricklefs mencatat ada enam penguasa kesultanan berdarah Bugis-Makassar.

Versi anthony Reid jauh lebih banyak lagi. Sebab, Sultan Alauddin Ahmad Syah memerintah tahun 1727 hingga berakhirnya Kesultanan Aceh pada 1903, semua Sultan yang berkuasa adalah keturunan orang-orang Bugis-Makassar.

Di hadapkan pada kenyataan sejarah yang demikian, betapa banyak nilai yang bisa di serap untuk kehidupan bangsa ini pada masa sekarang dan yang akan datang. Pluralisme dan multikulturalisme bukan saja menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa ini, tetapi juga merupakan sebuah kearifan yang selayaknya terus di kembangkan.

Meminjam ungkapan Harry Truman Simanjuntak, arkeolog sejarah dari puslitbang Arkeologi Nasional, sejarah mengajarkan kepada kita akan kebesaran masa lampau manusia Indonesia. Oleh karena itu, upaya menghilangkan oluralisme dan ultikulturalisme dalam kehidupan berbangsa akan sia-sia. Sebab, kemajemukan adalah sifat yang senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman... (KEN)


DIASPORA BUGIS-MAKASSAR DARI SOMBA OPU


Sore menjelang malam pada 24 juni 1969, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh ketangan VOC (baca: kompeni-belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun takhta.

Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tidak lagi menjadi kiblat perdangangan anak-anak negeri di wilayah timur nusantara. Bukan saja harus mengakui kekuasaan belanda, sultan hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi perjanjian bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660).

Gowa antara lain harus melepas kontrol sejumlah daerah sumber ekonomi dan penopang kekuasaannya. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang belanda semasa perang.

Butir-Butir perjanjian bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang Makassar tahun 1667-dua tahun sebelum hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya-itu sangat merugikan posisi tawar bangsawan dan kerabat kesultanan. Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kompeni melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dlam perdagangan dan pelayaran.

”pembatasan-pembatasan itu bukan saja menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, tetapi juga memudarkan wibawa bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam perjanjian bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial universitas Sultan Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga ketua masyarakat sejarawan Indonesia.

Namun,akhir perang dahsyat dalam sejarah VOC di nusantara tersebut justru awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang Bugis-Makassar di tanah air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi banyak dimotori bangsawan.

Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam penggeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur kepulauan indonesia. Selain mendapatkan monopoli dangang di pelabuhan makassar, belanda juga mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.

Munculnya kekuasaan otoriter dikawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi katanya,”mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak Viking yang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru,”

Dinamika lokal

Di tempat baru, orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial politik lokal. Sebutlah di lombok, sumbawa, kalimantan, jawa, sumatera, semenanjung malaysia, bahkan di siam. ”sampai abad XVIII, prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia itu.

Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut mewarnai dinamika lokal. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan campuran.

Bagi Mukhlis, fenomena ini bukan migrasi biasa. Ia menyebutnya diaspora Bugis-Makassar. Bangsawan dan raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan kerajaan Gowa-beserta pengikutnya- tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai Nusantara. ”mereka mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas,sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat baru mereka membaur kedalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerjasama saling menguntungkan,” ujar Mukhlis.

Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di nusantara masih bisa di lacak kini. Di pulau jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi maupun Babad Kraton Jawa menggambarkan prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini membantu Trunajaya mempereteli kekuasaan Mataram yang di sokong Belanda. Nama Karaeng Galesong dan Karaeng Daeng Naba, dua bangsawan kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makam prajurit dari Gowa di kompleks pemakaman Mlati, sleman, yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.

Label kesatuan prajurit bugis dalam ”ketentaraan” di keraton yogyakarta yang ada saat ini bukti alin dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Dokter Wahidin Soedirohoesodo-pahlawan Nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo-ternyata leluhurnya pun keturunan Bugis-Makassar: Daeng Naba!

Di Kalimantan, Sumatera,dan tanah semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk kepusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan, seperti di Aceh, Selangor, Trengganu, Pahang, dan Mempawah.

Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan ”sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan warga setempat.

Akulturasi budaya pun terjadi. Disanalah akar kemajemukan yang menjadi kekuatan bangsa di semai dalam taman ke Indonesiaan kita hari ini...


Oleh: Kenedi Nurhan