17 Februari, 2009



Kalola, Kampung Para Pengembara

Tidak ada yang istimewa dari tampilan fisik desa Kalola. Sebagian besar rumah panggung yang ada masih berupa bangunan lama, yang juga tidak istimewa. Bahan dasar bangunan maupun arsitekturnya pun tergolong biasa-biasa saja.

Dibandingkan desa-desa tetangganya di kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sepintas terlihat betapa kemajuan fisik kalola masih tertinggal. Meski di seberang jalan negara yang menghubungkan pare-pare ke arah ibu kota Wajo si Sengkang hingga Watampone di kabupaten Bone terbentang sawah menghijau, tetapi tak terlihat tanda-tanda kemakmuran menjamah mereka.

Inikah potret salah satu kampung asal pengembara bugis yang terkenal hingga kesebeang lautan itu? Waktu yang berlari cepat ternyata tak membuka cukup ruang untuk mengubah suatu peradaban sehingga kehidupan pun seperti jalan di tempat.

Di sinilah, 28 tahun lalu, Cik Hasan Bisri-dosen fakultas syariah,IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, yang kala itu tengah mengikuti pendidikan di pusat latihan penelitian ilmu-ilmu sosial (PLPIIS) Makassar-mencatat tingginya angka migrasi dari desa ini. Akibatnya, kampung-kampung di lingkup desa kalola kehilangan banyak penduduk. Sawah-sawah pun terlantar karena di tinggal pergi para pemiliknya.

Di kampung LawatanaE, misalnya dari sekitar 300 keluarga yang semula bermukim di sana hanya tersisa 30 keluarga sementaa 100 keluarga penghuni kampung Langkautu dan sekitar 200 keluarga yang bermukim di kampung AwatanaE, saat penelitian dilakukan Cik Hasan Bisri pada tahun 1981, sudah kosong tanpa penghuni.

”Hanya beberapa rumah tangga saja yang pindah Callaccu dan Anabanua atau ke pare-pare, sedangkan yang lainnya pergi merantau. Kini, kampung-kampung tersebut tingal bekasnya saja, berupa pohon-pohon kelapa yang bisasanya mereka tanam pada saat kelahiran bayi-bayi mereka,” tulis Cik Hasan (Migrasi, yayasan Ilmu-ilmu Sodial, 1985).

Dalam rentang waaktu 11 tahun, 1969-1980, Kalola pernah ”kehilangan” 8.762 warganya. Jumlah i ni sangat besar, mengingat jumlah penduduk Kalola pada 1980 tercatat ”hanya” 3.447 jiwa.

Jumlah penduduk Kalola yang tinggal di kampung halaman mereka ternyata jauh lebih kecil di bandingkan orang-orang Kalola yang ada di perantauan. Sebagian besar diantara mereka menetap di Jambi. Bahkan, menurut perkiraan salah seorang perantau yang menjadi nara sumber Cik Hasan, ”perantau Bugis asal Kalola di Jambi saja mungkin lebih banyak dari pada penduduk Desa Kalola sekarang ini.”

Lebih 28 tahun kemudian, Kalola memang mengalami perubahan. Paling tidak, kini tak ada lagi swah yang terlantar. Saluran irigasi sudah sampai ke Desa mereka, sehingga upaya peningkatan hasil usaha tani-yang sebelumnya jadi salah satu alasan perantauan, di samping karena di picu kekacauan politik akibat pemberontakan DI/TII-nya Kahar Muzakkar-bisa di lipatgandakan.

Akan tetapi keberhasilan usaha tidak serta-merta memperbaiki nasib dan meningkatkan status sosial mereka. Tidak mengherankan bila arus migrasi dari Desa Kalola masih berlangsung hingga kini, meski jumlahnya tidak lagi seperti ”eksodus” pada tahun 1960-an dan 1970-an.

”Pokoknya jauh berkurang. Ya, sekitar satu sampai tiga orang-lah,” kata Ansar Ala, pemuda setempat.

Menurut kepala Desa Kalola Haji Ambo Ala, migrasi besar-besaran yang dilakukan Orang-orang Bugis-Wajo asal Kalola kala itu lebih di sebabkan karena terjadinya kekacauan pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Akibat kekacauan itu, yang di picu pemberontakan DI/TII, masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

”Pergi merantau akhirnya menjadi pilihan,” ujar Haji Ambo Ala. ”Tetapi, jangan lupa, mereka tetap ingat Tana Bugis, kampung halamannya. Mereka masih ingat kerabat dan teman-teman sekampungnya. Biasanya mereka pulang sekali dalam 5-10 tahun. Saat pulang kampung, mereka memberikan bantuan baik untuk kerabat maupun bagi kepentingan umum,” tambahnya.

Menengok jauh kebelakang, perantauan orang-orang dari Kalola diperkirakan sudah berlangsung sejak abad XV. Sebagai satu di antara 65 kerajaan kecil di tana Wajo, tidak aneh bila orang-orang Kalola juga terlibat dalam aktivitas sebagai pedagang-pelayar yang ikut membuka permukiman baru di luar Tana Wajo.

Arus perantauan oran-orang Bugis-Wajo-termasuk penduduk Kalola-makin meningkat sejak di hancurkannya benteng Tosara oleh pasukan Bone yang di bantu Belanda pada 1670. peristiwa itu hampir bersamaan dengan migrasi besar-besaran orang Bugis-Makassar setelah kerajaan Gowa jatuh! (ken)

Tidak ada komentar: