17 Februari, 2009



DIASPORA BUGIS-MAKASSAR DARI SOMBA OPU


Sore menjelang malam pada 24 juni 1969, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh ketangan VOC (baca: kompeni-belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun takhta.

Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tidak lagi menjadi kiblat perdangangan anak-anak negeri di wilayah timur nusantara. Bukan saja harus mengakui kekuasaan belanda, sultan hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi perjanjian bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660).

Gowa antara lain harus melepas kontrol sejumlah daerah sumber ekonomi dan penopang kekuasaannya. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang belanda semasa perang.

Butir-Butir perjanjian bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang Makassar tahun 1667-dua tahun sebelum hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya-itu sangat merugikan posisi tawar bangsawan dan kerabat kesultanan. Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kompeni melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dlam perdagangan dan pelayaran.

”pembatasan-pembatasan itu bukan saja menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, tetapi juga memudarkan wibawa bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam perjanjian bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial universitas Sultan Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga ketua masyarakat sejarawan Indonesia.

Namun,akhir perang dahsyat dalam sejarah VOC di nusantara tersebut justru awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang Bugis-Makassar di tanah air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi banyak dimotori bangsawan.

Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam penggeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur kepulauan indonesia. Selain mendapatkan monopoli dangang di pelabuhan makassar, belanda juga mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.

Munculnya kekuasaan otoriter dikawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi katanya,”mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak Viking yang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru,”

Dinamika lokal

Di tempat baru, orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial politik lokal. Sebutlah di lombok, sumbawa, kalimantan, jawa, sumatera, semenanjung malaysia, bahkan di siam. ”sampai abad XVIII, prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia itu.

Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut mewarnai dinamika lokal. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan campuran.

Bagi Mukhlis, fenomena ini bukan migrasi biasa. Ia menyebutnya diaspora Bugis-Makassar. Bangsawan dan raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan kerajaan Gowa-beserta pengikutnya- tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai Nusantara. ”mereka mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas,sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat baru mereka membaur kedalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerjasama saling menguntungkan,” ujar Mukhlis.

Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di nusantara masih bisa di lacak kini. Di pulau jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi maupun Babad Kraton Jawa menggambarkan prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini membantu Trunajaya mempereteli kekuasaan Mataram yang di sokong Belanda. Nama Karaeng Galesong dan Karaeng Daeng Naba, dua bangsawan kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makam prajurit dari Gowa di kompleks pemakaman Mlati, sleman, yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.

Label kesatuan prajurit bugis dalam ”ketentaraan” di keraton yogyakarta yang ada saat ini bukti alin dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Dokter Wahidin Soedirohoesodo-pahlawan Nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo-ternyata leluhurnya pun keturunan Bugis-Makassar: Daeng Naba!

Di Kalimantan, Sumatera,dan tanah semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk kepusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan, seperti di Aceh, Selangor, Trengganu, Pahang, dan Mempawah.

Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan ”sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan warga setempat.

Akulturasi budaya pun terjadi. Disanalah akar kemajemukan yang menjadi kekuatan bangsa di semai dalam taman ke Indonesiaan kita hari ini...


Oleh: Kenedi Nurhan

Tidak ada komentar: