17 Februari, 2009



Intrik Di Jantung Melayu

Setelah beberapa kali salah jalan, rombongan kecil itu akhirnya tiba juga di makam bercungkup di puncak tebing merah berbatu kerikil. Sepelemparan batu dari sana. Sungai bintan mengalir tenang. Di kejauhan, dari selasar makam berwarna kuning menyala itu, debur ombak selat malaka sayup terdengar.

Tersesat beberapa kali, dan dua kali salah mendatangi ”alamat” makam yang di cari, hanyalah sisi lain dari gambaran awal betapa pendek ingatan sebagian anak negeri ini pada sejarah masa lalu bangsanya. Daeng Marewa-nama yang tertera pada plakat makam dan papan penanda bahwa kawasan ini adalah bagian dari benda cagar budaya-siapakah dia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk mereka yang tinggal di Kepulauan Riau dan sekitarnya-juga Johor, Pahang, dan Selangor-kini nama Daeng Marewa hampir tak lagi di kenal. Padahal, sejarah mencatat, Daeng Marewa adalah Yamtuan Muda Alias yang Dipertuan Muda Riau I. Jabatan setingkat perdana mentri itu ia sandang sekitar tujuh tahun (1721-1728), sebelum digantikan adiknya, Daeng Celak.

Siapakah sesungguhnya Daeng Marewa, juga Daeng Celak, dan bagaimana mereka bisa duduk di tampuk kekuasaan kesultanan melayu? Bukankah dari nama gelar (baca; Daeng) yang mereka sandang dengan gampang orang bisa mengaitkannya dengan kebangsawanan Bugis-Makassar?

Memang Daeng Marewa dan Daeng Celak adalah dua diantara lima bersaudara ’satria Bugis-Makassar, putra Opu Tenri Borong Daeng Rilekke. Tiga saudara mereka yang lain adalah Daeng Perani, Daeng Manambun, dan Daeng Kamase.

Lima bersaudara keturunan bangsawan-petualang Bugis-Makassar, meminjam istilah sejarawan Tufik Abdullah, inilah yang berperan penting dalam mengangkat marwah kesultanan Melayu (Riau-Johor) pada abad XVIII. Berkat mereka, kesultanan Melayu (saat itu berpusat di Johor sehingga sejarahpun mencatatnya sebagai kesultanan Melayu-Johor) bisa diselamatkan dari kehancuran akibat pendudukan raja kecil dari siak.

Ketika itu, raja kecil yang mengklaim sebagai keturunan (Alm) Sultan Mahmud Shah II menuntut atas hak tahta di Johor. Di bantu orang-orang minangkabau, pada maret 1718, raja kecil berhasil menguasai istana kesultanan Melayu-Johor, menyusul terbunuhnya raja muda Mahmud. Riau kepulauan ikut di kuasai pasukan raja kecil.

Pihak istana Johor yang lari ke Pahang lalu berpaling kepada pengembara Bugis-Makassar, yang kala itu di kenal sebagai salah satu kekuatan utama di Selat Melaka. Pilihan jatuh pada kekuatan lima bersaudara yang di pimpin daeng perani beserta pengikutnya.

Setelah melalui serangkaian pertempuran laut yang seru orang-orang Bugis-Makassar berhasil menghalau kekuatan raja kecil. Istana Johor bisa di rebut kembali. Sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1721-1760) yang di lantik sebagai penguasa Johor menetapkan semacam kuasa bersama antara Melayu dan Bugis-Makassar atas kedaulatan Melayu-Johor.

Satu diantara lima bersaudara tersebut, Daeng Marewa, bahkan di beri kekuasaan khusus sebagai Yamtuan Muda Riau. Adapun Daeng Perani-kelak jadi raja Muda di Selangor-dan Daeng Celak di kawinkan dengan saudara-saudara Sultan Johor.

Meski dalam struktur pemerintahan Sultan Johor memegang tampuk kepemimpinan, tetapi dalam peraktiknya yamtuan Muda Riau-lah yang sesungguhnya secara politik mengendalikan roda kekuasaan. Sekalipun belakangan kesultanan Melayu terpecah dua; Melayu-Johor dan Melayu-Riau-Lingga-Menyusul pembagian kekuasaan secara sepihak antara Inggris dan Belanda pada 1824-tetapi posisi keturunan bugis-Makassar di jantung Melayu tetap tak tergeserkan. Bahkan hingga Kesultanan Melayu-Riau dibubarkan oleh Belanda pada 3 februari 1911.

Bagaimana ”karier” Daeng Manambun dan Daeng Kamase? Tuhfat al Nafsis yang di tulis raja Ali Haji menyebutkan, ”Daeng Manambun menjadi raja di Mempawah bergelar Pangeran Emas Surya Negara ... adapun Daeng Kamase berkuasa di negeri Sambas bergelar Pangeran Mangkubumi.”

Ekses Perjanjian Bongaya

Kehadiran para pengembara Bugis-Makassar yang bisa masuk ke pusat kekuasaan kesultanan Melayu dan Kerajaan-Kerajaan lain di tanah Melayu merupakan fenomena menarik.

Mereka ternyata tidak sekedar berperan dalam dinamika sosial-ekonomi dalam jalur pelayaran dan perdagangan. Pada banyak tempat-di kesultanan Melayu (Johor-Riau) sebagai contoh kasus-orang-orang Bugis-Makassar bahkan terlibat dalam dinamika sosial politik hingga ke jantung kekuasaan..

Sejak diterapkannya perjanjian Bongaya (1667), menyusul kejatuhan Benteng Somba Opu sebagai pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo pada 24 juni 1669, memang terjadi migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar ke berbagai penjuru Nusantara.pola pelayaran dan perdagangan mereka pun, sebagai mana di catat Christian Pelras (Manusia Bugis,2006), mengalami perubahan.

Di motori para bangsawan dan raja-raja kecil yang menentang isi perjanjian tersebut, yang secara umum mengekang kebebasan dan bahkan mempreteli eksistensi mereka, tujuan migrasi terutama kewilayah barat Nusantara. Mereka menghindari wilayah timur-terutama ke Maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah-karena jalur perdangan dan pelayaran ditutup oleh Belanda.

Selain Kalimantan, Sumbawa, Lombok, Jawa-Bali, rombongan bangsawan Bugis-Makassar ini juga banyak menetap di Sumatera dan tanah Semenanjung. Opu Tenri Borong Daeng Rilekke-bangsawan dari kerajaan luwu yang ketika itu merupakan sekutu Gowa- bersama lima putera dan pengikutnya termasuk yang memilih bermigrasi ke pesisir timur Sumatera.

Di kawasan Selat Melaka ini mereka bersama pengembara Bugis-Makassar lainnya mendirikan perkampungan di pantai dan muara-muara sungai besar. Di Jambi, seperti daerah muara Sabak dan Tanjung Jabung, selain berdagang, orang-orang Bugis-Makassar juga membuka lahan perkebunan kelapa. Begitupun di kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

Pada masa ini, Ricklefs (2006) meyakini, pengembara Bugis-Makassar terlibat aktif di seluruh bagian barat Nusantara dan menjadi kekuatan utama di Selat Melaka. Bahkan seperti dicatat Pelras, dalam perkembangan berikutnya mereka melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu.

Tak hanya di kesultanan Melayu (Riau-Johor) serta pusat kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Semenanjung dan Kalimantan Barat, di belahan utara pulau Sumatera pun anak cucu pengembara Bugis-Makassar juga masuk kejantung kekuasaan. Di kesultanan Aceh, misalnya, selama hampir dua abad (1727-1838), Ricklefs mencatat ada enam penguasa kesultanan berdarah Bugis-Makassar.

Versi anthony Reid jauh lebih banyak lagi. Sebab, Sultan Alauddin Ahmad Syah memerintah tahun 1727 hingga berakhirnya Kesultanan Aceh pada 1903, semua Sultan yang berkuasa adalah keturunan orang-orang Bugis-Makassar.

Di hadapkan pada kenyataan sejarah yang demikian, betapa banyak nilai yang bisa di serap untuk kehidupan bangsa ini pada masa sekarang dan yang akan datang. Pluralisme dan multikulturalisme bukan saja menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa ini, tetapi juga merupakan sebuah kearifan yang selayaknya terus di kembangkan.

Meminjam ungkapan Harry Truman Simanjuntak, arkeolog sejarah dari puslitbang Arkeologi Nasional, sejarah mengajarkan kepada kita akan kebesaran masa lampau manusia Indonesia. Oleh karena itu, upaya menghilangkan oluralisme dan ultikulturalisme dalam kehidupan berbangsa akan sia-sia. Sebab, kemajemukan adalah sifat yang senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman... (KEN)

Tidak ada komentar: